The Darkest Side (Part 1-When it Started)

The Darkest Side (Part 1-When it Started)

The Darkest Side (Part 1-When it Started)
Oleh: Hilda

Pernahkah kamu terbangun dengan sebuah pisau di tangan, tubuh berlumur darah, dan mayat-mayat membusuk berada tepat di depan matamu selama berhari-hari?

Ada kesenangan yang tumbuh. Ada gairah yang meletup-letup. Tangan-tanganmu memiliki pikiran sendiri. Bergerak tak terkendali. Mencabik-cabik, memotong-motong, menerkam setiap jengkal tubuh-tubuh itu seperti hewan pemangsa.

Bayangkan jika kamu berada di posisi itu. Dan jari-jari mungilmu, tidakkah merasakan kelegaan?

***

Sisa jangma masih meliputi sebagian kota. Kabut dingin menusuk kulit di balik jaket tebal yang kukenakan. Rinainya menetes pelan, sebelum lenyap di telan waktu.

Burung-burung kembali bertengger di dahan-dahan pohon. Aku kembali menyelami duniaku. Tuan Lapard, beruang lucu berwarna keabuan yang masih setia menemani acara minum tehku dengan Nona Julieta yang cantik di sampingnya.

Meja teh berguncang ketika Eomma menarikku bangkit tiba-tiba. Aku menyambar dan mendekap sesuatu dengan cepat. Kulihat Rin telah berada dalam gendongannya. Aku menoleh ke arah tempatku bermain tadi, tak rela rasanya meninggalkan mereka. Hanya sempat kubawa satu. Pachaegi, mainan terakhir yang dibeli ayah pada ulang tahun yang ke sepuluh.

Kami telah keluar dari gerbang rumah. Eomma mengunci pintu dan kembali menggamit tanganku. Tersesok-seok aku mengikuti langkah kaki besarnya. Dia tak menungguku, berjalan lebih cepat seolah ada yang memburu. Genggaman tangannya kuat dan menyakitkan. Aku meringis, kakiku sakit mengikut gerakannya.

“Cepat sedikit, Akira-ah!” Eomma menengok datar ke arahku. Wanita berambut ginger itu masih tak mengurangi kecepatannya.

“Eomma, kita mau ke mana?”

Eomma hanya diam sambil terus berjalan. Rin tertidur sangat lelap masih memegangi bonekanya. Aku terjatuh ketika Eomma berhenti secara tiba-tiba. Kami berada di sebuah taman umum yang dulu sering kami datangi. Aku merasa cukup senang, meski kami berada di waktu yang kurang tepat, karena jam taman telah menunjukkan pukul tujuh malam.

Eomma membantuku bangun, membersihkan bajuku dari noda, dan tersenyum. Matanya secerah suasana hatinya. Senyum itu menular padaku, itu pertanda bahwa ada kabar baik yang telah datang padanya.

“Eomma.”

“Akira, tunggulah di sini. Tolong jaga Rin, ya. Eomma meninggalkan sesuatu.”

Wajah cantik Eomma memenuhi pupil mataku. Teman-teman tak berbohong sewaktu mengatakan bahwa Eomma memang mirip bintang Hallyu.

“Eomma akan kembali, kan?”
Eomma mengangguk-angguk dan sekali lagi menerbitkan senyumnya.

“Apa kau mau es krim? Eomma akan membelikannya. Jangan kemana-kemana sampai Eomma kembali, mengerti?”

Aku ikut tersenyum hingga gigi-gigiku terlihat.Juga berjanji akan menjaga Rin dengan baik.

Eomma menitipkan tas, mencium keningku dan Rin, sebelum meninggalkan aroma parfum wanitanya yang masih dapat kuhidu.

Lama aku menunggu, Rin akhirnya terbangun. Aku memberinya minum dan cokelat.

Rin sangat menyukai makan cokelat setelah bangun tidur.

“Onechan, di mana Eomma?” Rin mengucek mata beberapa kali, masih belum sadar sepenuhnya.

Ya, hanya saat kami berdua, Rin dapat memanggilku Onechan, pelafalan kakak dalam bahasa Jepang. Ayah adalah orang Jepang dan mengajari kami untuk tidak melupakan tempat kelahiran. Sayangnya, Eomma kurang suka jika kami menggingatkan tentang ayah. Jadi, sebutan-sebutan itu tidak berani kami lakukan di depannya.

“Eomma hanya pergi membeli es krim dan akan segera kembali.” Aku menenangkan Rin yang telah sibuk mengunyah.

Kami menunggu dan menunggu. Hingga akhirnya pagi menjelang, Eomma tak pernah datang. Rin mulai merengek karena Eomma belum juga kembali. Kuputuskan untuk pulang sendiri. Rin kugandeng agar kami tak berpencar.

Apa yang terjadi pada Eomma? Aku terus-menerus khawatir bahwa wanita itu mungkin tengah mengalami kesulitan. Kami akhirnya sampai. Dan yang kami lihat hanya rumah yang gelap dan terkunci. Ada sebuah plang di depan pintu bertuliskan, “Dijual”.

“Onechan, di mana Eomma?”

“Jangan merengek, Rin. Kita akan mencarinya. Kita akan segera bertemu Eomma.”

Rin mencebik karena aku menyebutnya merengek, dia tidak suka kata itu, karena mencerminkan ketidakdewasaan.

Setelah itu Rin tak pernah lagi bicara. Dari bibirnya hanya keluar rintihan. Kami terkatung-katung di jalan. Lelah dan kelaparan. Ketakutan. Tidak ada yang menginginkan.

Setelah hari itu, kami tidak penah melihat Eomma kembali. Aku hampir putus asa mencarinya. Dua hari menunggu di depan rumah, hingga kuputuskan membawa Rin pergi menyusuri jalanan, berharap suatu saat akan ada seseorang baik hati yang mau mengambil kami.

Tepatnya sebulan kemudian, Rin sakit dan terkena malgizi. Kami bertemu seorang nenek tua yang bersedia merawat kami. Dengan syarat, aku harus membantu kedai miliknya secara gratis seumur hidupku.

Aku menyanggupi, asalkan Rin dapat selamat dan tetap sehat.

Berangsur-angsur kehidupan kami berjalan normal kembali. Rin selamat dari penyakit, kami mendapat tempat dan makan kembali. Nenek Go Seok bahkan berniat membuat Rin kembali bersekolah, karena dia seorang anak laki-laki bermasa depan cerah dengan semangat belajar tinggi. Aku bahagia untuknya.

Rin… anak itu memang terlihat lebih banyak murung dan diam. Rin tidak pernah lagi tersenyum semenjak terakhir kali. Wajah cerianya berubah mendung seolah menanggung begitu banyak beban. Di lain sisi, aku tidak bisa untuk tidak bersedih untuknya.

***

Dua tahun berlalu, tiada yang berubah. Aku masih sibuk dengan membantu di kedai, Rin yang bersekolah. Wajah datarnya masih sama seolah telah terstempel di sana. Aku tidak tahu lagi bagimana caranya untuk membuat senyumnya kembali.

Hingga suatu ketika, kejadian itu terjadi. Aku melihat sisi berbeda Rin.

Adikku menangis dan meraung menceritakan hal yang tak pernah terpikir dalam benakku.

Hari itu adalah Valentin’s Day. Rin meminta izinku untuk menambah uang saku. Dia akan menjual bunga yang ditawarkan Nyonya Kim Sye Gyeong.

Bukannya aku tak tahu bahwa Rin tidak pernah menggunakan uang sakunya selama ini. Entah apa yang diinginkannya, yang jelas aku menyetujui asalkan dia dapat pulang tepat waktu.

Nyonya Kim menawarkan sejumlah bonus jika Rin dapat menjual habis bunganya. Rin terlihat begitu bersemangat pada awalnya. Bunga-bunga yang dijualnya lumayan banyak karena dia menjajakannya di taman kota.

Rin melihat sebuah mobil berhenti tepat di depannya, seorang pria berjaket kulit cokelat panjang keluar dari sana. Ia sempat memperhatikan gelagat pria itu mengumpat dan bersumpah serapah sambil memandang ke arah taman. Rin terkejut mendapati wajah pria itu begitu menakutkan. Matanya memancarkan hawa seram, terlalu banyak kekosongan dan dingin yang membekukan.

Rin bergidik, ragu-ragu hendak menawarkan.

“Bu-bunganya, Ahjussi-ssi.”

“Kemari, adik kecil.” Pria itu tersenyum singkat dan menunjuknya mendekat.

“Aku akan membeli semua bungamu.” Rin terperanjat. Kecemasan yang ia rasakan sempat pudar berganti kelegaan untuk sesaat.

“Tapi… tolong antarkan cokelat ini pada wanita berbaju putih yang tertawa di sana.” Rin menengok ke arah yang dituju pria itu. Seorang wanita berbaju putih sedang piknik dengan seorang laki-laki. Mereka tampaknya sepasang kekasih yang bahagia. “Jangan katakan dari siapa. Dan ini uang untuk kamu.”

Rin mengamati lembaran uang telah berpindah dalam genggamannnya. Rasa cemasnya hilang berganti antusias. Dia hanya perlu menjadi kurir cokelat dan mendapat uang banyak. What the luckiest!

“Tapi ini terlalu banyak, Tuan.”

“Ambil saja, semua itu untuk kamu. Sekarang lakukan tugasmu.”

Rin melakukan tugasnya dengan baik. Wanita berbaju putih tampak senang, meski ia bertanya-tanya dari siapa cokelat ini. Rin mengatakan bahwa dia hanya kurir dan memberikan bunga mawar putih untuknya.

Rin kembali ke tempat semula. Pria itu masih di sana, mengamati.

“Sudah saya laksanakan, Ahjussi-ssi”

Pria itu menyejajari tinggi tubuh Rin, menepuk dan merangkul pundaknya dengan ramah. “Kerja bagus.” Rin mengangguk sekilas. Dia senang. “Siapa namamu?” tanyanya.

“Nama saya Rinose.”

“Nama yang bagus. Baiklah, Rinose-ssi. Kau ingin melihat sebuah pertunjukan menarik?”

Rin tidak mengerti maksud pria itu. Dia baru memahaminya setelah tubuhnya dihadapkan ke arah di mana wanita tadi berada. Wanita itu baru saja selesai membuka pita kotak cokelat yang diantarnya. Secara perlahan, lalu memakannya. Sepuluh detik kemudian, dia mengejang hebat, dari mulutnya mengeluarkan banyak buih, sebelum jatuh tergeletak tak bernyawa.

Orang-orang berteriak ngeri, mereka membuat kerumun dan segera memanggil polisi. Pria yang menemaninya meraung-raung.

Rin tereperanjat, tubuhnya membeku, seluruh badannya bergetar. Ia menoleh ke arah pria yang tertawa-tawa.

Pria itu menyeringai ke arahnya. “Selamat! Kamu telah menjadi,” Tangannya terjulur hendak menggapai Rin. “seorang pembunuh.”

Bersambung ke part 2

Heuladienacie, seorang penulis amatir yang masih terus belajar mengembangkan tulisannya. Pernah beberapa kali tergabung dalam beberapa antologi.  Wanita 23 tahun penyuka cokelat dan kucing ini bisa ditemui di akun Line, Ig, Wattpad: @heuladienacie

***

Nb:
Eomma: Ibu
Jangma: hujan
Onechan: kakak
-ah dan -ssi: prefix untuk panggilan nama orang Korea. Yang akrab dan tidak akrab.
Ahjussi: Paman/orang lebih tua yang tidak dikenal.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply