Duduk di Depan Pintu
Oleh: Evamuzy
Kamu percaya mitos lama yang mengatakan kalau anak gadis yang suka duduk di depan pintu nanti jodohnya pulang lagi?
Sayangnya, duduk di tengah atau depan pintu adalah hobiku. Sebab, kalian pasti setuju, duduk di tempat itu sensasinya berbeda. Ibarat terkena angin surga. Sejuk sekali. Meski Bunda selalu melarangku. Terlebih sejak kejadian dua malam yang lalu. Aku sendiri juga masih belum bisa lepas dari kesedihan ini.
***
“Berhenti nangisnya, Sayang. Sudah. Mungkin memang Randi bukan jodohmu, Nduk.” Jelas tangisku semakin pecah mendengar itu. Bunda masih setia membujuk agar isakku mereda.
Malam itu, aku sudah didandani cantik untuk menyambut keluarga Randi yang akan datang melamarku. Wajah Bunda dan Ayah nampak bahagia, sebab perjodohan yang mereka rencanakan sejak lama akhirnya akan terwujud. Kami–aku dan Randi–juga tidak keberatan sama sekali. Toh, memang kita sudah saling menyayangi satu sama lain sejak kecil. Sahabat kecil yang akan dipersatukan setelah usiaku genap 21 tahun, seperti sekarang ini.
Ruang tamu telah ramai. Dekorasi sederhana dengan tirai dan bunga-bunga plastik menghiasi satu sudut ruangan, di mana akan menjadi tempatku dan Randi saling menyematkan cincin di jari manis satu sama lain. Nenek, Kakek, Paman, Bibi, dan saudara dekat lain juga turut menanti kedatangan keluarga Randi. Ayah Randi adalah teman kecil ayahku. Jadi, tentu ini akan membahagiakan Ayah, juga aku.
Selesai didandani, aku diminta untuk duduk di balik lemari kayu yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga. Mereka bilang, aku boleh keluar setelah Randi dan keluarganya datang, lalu aku akan dituntun ke ruang tamu. Sungguh, membayangkannya saja, pipiku merona. Betapa bahagianya jika benar-benar di jari manis kami melingkar sebuah cincin tanda pengikat. Satu langkah menuju persatuan dua insan yang saling mencintai. Aku … merasa seperti di taman dengan bunga-bunga cantik saat itu. Namun, sampai waktunya tiba, mereka tak kunjung datang.
Dua jam kami menunggu. Aku yang awalnya berusaha tenang, mulai merasa cemas. Bunda gelisah, Ayah juga terlihat sekali menahan amarah. Hingga malam mulai larut, para saudara juga letih menunggu, akhirnya mereka benar-benar tak menepati janjinya malam itu. Tanpa pesan, tanpa alasan. Aku berlari masuk kamar, membawa segenggam rasa kecewa. Menghapus dandananku, dan segeralah wajah ini banjir air mata. Malam itu, warnaku sungguh-sungguh kelabu.
***
Dengan sepeda lama warna biru, aku menyusuri jalanan sore. Menikmati warna senja. Sengaja melewati rumah berpagar putih tempat tinggal keluarga Randi. Saat tepat di depan rumahnya itu, nampak pintu tertutup rapat. Tanaman-tanaman hias yang biasanya segar karena rajin dirawat Ibunya, kini terlihat sedikit layu.
“Permisi, Paman. Kok, sepertinya rumah di depan sepi, ya?” tanyaku pada bapak-bapak yang melintas membawa peralatan berkebun. Dia tersenyum sekilas sebelum menjawab.
“Iya. Sudah tiga hari ini ditinggal pergi yang punya rumah. Entah kemana, saya kurang tahu. Mungkin keluar kota.” Tak lama setelah menjawab itu, dia lantas pamit pergi. Meninggalkanku yang masih termenung di dekat pintu pagar kayu. Memandang sepasang kursi teras yang dipisah meja kecil berhias vas dengan bunga cantik, di mana biasanya aku dan Randi saling berbagi cerita dan tawa. Randi … entah apa alasannya kamu melakukan ini? Menciptakan luka di hati.
“Apa Nenek bilang, anak gadis itu jangan suka duduk di depan pintu, Nduk. Beneran pulang lagi, ‘kan, yang mau melamarmu. Sekarang, berhenti melakukan itu, ya, Sayang. Dan berdoa, semoga takdir baik selalu bersamamu,” pesan Nenek saat aku mengunjunginya setelah puas memandangi rumah Randi.
***
Siang ini, Bunda mengajakku mengunjungi temannya di rumah sakit. Kami berangkat dengan taksi.
Saat berjalan di koridor rumah sakit, aku menemukan seseorang yang sangat kukenali. Ibunya Randi. Aku setengah berlari menghampirinya, meninggal Bunda yang berdiri bingung di tempatnya.
“Tante. Kok, di sini? Tante sendirian?” tanyaku dengan pandangan mencari-cari seseorang yang mungkin saja juga ada di sini bersama Ibunya.
“Via ….” Wajah ibunya Randi nampak kaget.
“Siapa yang sakit, Tante?”
Wanita yang kukenal berperangai lembut itu bergeming.
“Tante,” panggilku sekali lagi.
Aku terlonjak saat tiba-tiba ibunya Randi menarikku ke dalam pelukannya. Isak kecil pun mulai terdengar.
“Maafkan kami, Sayang. Randi sangat mencintaimu. Di malam pertunangan kalian, sakitnya kambuh. Bahkan semakin parah. Dia harus mendapat perawatan intensif. Dia tidak mau kamu bersedih dan khawatir. Kata dia, tidak boleh ada yang memberitahumu. Mau tidak mau, kami mengikutinya.”
Bagaimana? Kamu ingin tahu, apakah akhirnya kami bersatu, atau benar-benar terpisah? Ah, namun bukan itu poin pentingnya. Ada sesuatu yang harus kamu ingat, bahwa benar atau tidak mitos itu, duduk di depan pintu tetaplah tidak baik. Sampai kapan kamu mau menghalangi orang yang akan masuk ke rumah? Atau kamu ingin ditabrak kaki orang? (*)
Evamuzy, gadis yang suka lihat pesawat terbang. Sampai-sampai waktu ke kota Jakarta, hal pertama yang dia minta adalah pergi ke belakang lapangan terbang Bandara Soekarno Hatta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata