Kunang-Kunang dan Ajian
Oleh: Hanifah
Udara perkampungan begitu terasa menyejukkan. Aku melangkah pelan menyusuri desa. Jika bukan karena meninggalnya Asep, sahabatku sejak kecil, aku sungguh tidak bisa ke sini. Bos tidak akan mengijinkanku mengambil cuti di awal bulan yang penuh kesibukan.
Semuanya terasa sedikit asing. Sudah lama, aku tak pulang ke kampung. Kedua orang tua sudah kuboyong ke kota. Setelah kakek meninggal, ibu memang menginginkan suasana baru. Jadilah, bertahun-tahun, tak pernah sekali pun kami kembali ke sini.
Ini karena Asep. Alasan kuat bagiku untuk kembali menginjakkan kaki ke sini. Berat memang. Apalagi, bayangan kakek kembali menguasai pikiran. Aku sangat dekat dengannya. Karena itulah, aku juga membenci kepergiannya. Sempat merasa tak adil dan tak percaya akan sebuah takdir yang memang sudah seharusnya kuterima.
Setelah lumayan jauh melangkah, akhirnya sampai juga. Aku memang sengaja memarkirkan mobil di gapura depan. Jalan perkampungan lumayan sempit.
Di depan sebuah rumah bercat hijau itu, sudah banyak para pelayat yang datang. Aku sedikit merapikan kemeja sambil mencoba mencari seseorang yang mungkin kukenal dan bisa diajak bicara.
“Eh, Firman?”
Aku menengok ke arah suara. Seorang dengan perawakan tinggi besar melihatku dengan cermat. Sama halnya denganku.
“Lah, lupa ya? Duh, kamu nih jadi makin ganteng haha, pangling. Aku Rusdi.”
“Ah iya. Maaf, kamu juga pangling, Rus.”
“Haha, makin gendut ya?”
“Hehe, iya.”
Ia kemudian menempelkan telunjuk tepat di depan mulut. “Almarhum Asep sepertinya sudah selesai disholatkan. Tinggal menunggu keluarga dari jauh.”
Aku mengangguk. Tak sia-sia tadi aku sedikit ngebut di jalan. Masih bisa melihat Asep untuk terakhir kalinya.
Aku dan Rusdi menunggu cukup lama untuk masuk ke dalam rumah. Para pelayat sangat banyak. Rusdi sendiri sampai geleng-geleng kepala dan banyak menyebut kalimat-kalimat syukur. Katanya, tak heran banyak pelayat yang datang dan mendoakan. Karena semasa hidup, Asep memang sering bersilaturahmi dan membantu sesama. Aku juga mengiyakan hal tersebut. Asep memang baik. Dulu, sewaktu jaman SMP, ia termasuk murid yang pintar dan taat. Kalau ada murid yang setiap kali mendengar adzan langsung ke mushola, siapa lagi kalau bukan Asep. Asep adalah panutan. Meskipun sempat ada yang mencibir, nyatanya Asep lebih banyak disukai.
Begitulah yang kuingat dari seorang Asep. Semua kebaikannya.
Para pelayat sudah mulai berkurang dan lebih banyak duduk di luar. Aku dan Rusdi bergegas masuk.
Ibunya Asep terlihat sangat terpukul. Melihatnya seperti itu, aku jadi ingat ibu ketika kakek meninggal. Raut keputusasaan terlihat begitu jelas terpancar. Aku dan Rusdi mengucapkan bela sungkawa. Kami juga mengobrol sedikit tentang Asep. Rusdi terlihat sekali ingin memberikan penghiburan bagi orang tua Asep. Ia banyak bercerita kebaikan-kebaikan Asep.
Aku sedikit merasa bahwa apa yang dilakukan Rusdi itu salah. Bukannya terhibur, ibunya Asep malah semakin terlihat sedih dan terus menangis.
“Yang sabar ya, Bu. Saya yakin, ini yang terbaik buat Asep.”
Aku melontarkan kalimat yang membuat ibu Asep mengangguk. Ya, seharusnya, sedari tadi aku mengatakannya.
Aku dan Rusdi pun pamit keluar. Karena ternyata, di belakang kami, sudah banyak yang mengantri ingin masuk ke dalam rumah.
“Gak nyangka ya, Fir. Asep masih muda, seumuran kita, tapi sudah harus pergi.”
“Ya, umur siapa yang tahu, Rus.”
Perihal umur, memang tak ada yang tahu, bukan? Aku saja, kalau tahu pada hari itu kakek akan meninggal, rasanya tak akan pernah aku melepaskan tangannya walau pun sebentar.
“Oh iya, Rus. Aku jadi inget. Mumpung masih di sini. Abah Darman masih ada, kan?”
Rusdi menatapku sedikit terkejut. “Justru itu, aneh Fir. Bah Darman masih hidup sampai sekarang. Kalau kata emakku, usia Bah Darman itu sudah seratus dua puluh limat tahun lebih.”
Rusdi mengucapkan kalimat demi kalimat dengan pelan. Seakan-akan, ia tak ingin orang lain ikut mendengar.
“Maksdumu? Apa yang aneh? Bukannya itu bagus?”
“Bagus? Bah Darman itu, kata orang-orang, punya ajian alias ngelmu. Makanya susah untuk pergi meninggalkan dunia ini.”
“Eh, hati-hati Rus, kalo ngomong ya jangan macem-macem.”
Aku sedikit emosi mengingat Bah Darman adalah teman dekat kakekku dulu. Aku juga dekat dengannya.
“Lho, ini kata orang-orang, Fir.”
Aku tak menjawab. Rombongan pembawa jenazah sudah mau berangkat.
“Ngobrolnya lain kali saja, Fir. Nanti dilanjut lagi.”
Aku hanya mengangguk.
***
Bah Darman selalu ada sejak aku kecil. Aku pikir, umurnya sama dengan kakekku tapi nyatanya, kakek bilang, ia lebih tua. Banyak hal yang membuatku sangat menyukai Bah Darman.
Selain sifatnya mirip kakek, ia juga selalu bisa membuatku terbuai dengan cerita-ceritanya. Saat kakek tiada, ia juga berada di sisiku. Ia banyak menenangkan dan bilang, bahwa kakek sudah bahagia. Aku pernah bertanya pada Bah Darman tentang apakah benar, kunang-kunang itu berasal dari kuku orang mati? Atau justru orang yang sudah mati menjelma kunang-kunang?
Saat itu, mungkin Bah Darman menjawab, mungkin juga tidak. Aku lupa. Sekarang, aku menginginkan jawabannya lagi. Dari pertanyaan yang sama.
Sebuah rumah bilik yang sudah tua membuat langkahku bersemangat. Tanpa ragu, aku mengetuk pintu. Seorang wanita keluar.
“Maaf, ini rumah Bah Darman?” tanyaku.
Wanita itu mengangguk. “Ada perlu apa, Kang?”
“Saya mau silaturahmi, saya dulu pernah dianggap cucunya.”
Wanita itu tersenyum. “Semua orang adalah cucunya.”
Aku tersenyum. Benar, itu masuk akal. Bah Darman panjang umur. Semua orang di kampung, pasti sudah dianggap cucu olehnya.
“Silakan masuk.”
“Abah sedang di kamar. Masuk saja, ia sudah jarang lagi jalan ke luar atau berdiri lama-lama.”
Aku mengangguk. Seketika, ucapan Rusdi tentang Bah Darman punya ajian atau ngelmu, buyar. Lihatlah, Bah Darma sudah renta dan tak kuat berdiri. Itu artinya dia sudah tua. Perkara tetap hidup atau mati, itu sudah diatur.
“Bah, ada tamu.”
Aku mengetuk pintu kamar.
“Iya, masuk saja.”
“Assalamualaikum, Bah.”
“Waalaikum salam.”
Setelah menyalami Bah Darman, aku duduk di samping ranjang. Bah Darman sedang bersantai. Ia tidak berbaring. Ia juga duduk sambil punggungnya disangga oleh bantal.
“Siapa ini?” tanyanya.
Aku tersenyum, “Ini Firman. Cucunya Kek Supardi.”
Wajah Bah Darman langsung ceria. “Firman? Wah, sudah lama sekali ya.”
Aku memang tak salah melihat. Mata Bah Darman berkaca-kaca. Ah, aku yang salah. Seharusnya, aku sering berkunjung.
“Bah, Asep meninggal tadi pagi. Cucu Abah juga, kan?”
“Iya. Asep yang kalau adzan suaranya merdu sekali.”
“Betul itu, Bah?”
“Betul.”
Aku menatapnya dengan antusias. Seperti seorang bocah yang sedang menanti cerita seru.
“Bah, Firman boleh tanya?”
“Tanya apa?”
“Apa iya, kunang-kunang itu berasal dari kuku orang mati? Atau katanya, orang-orang mati, akhirnya jadi kunang-kunang?”
“Ah, tidak begitu. Itu bohong. Tapi jika kamu meyakininya demikian, jadikan saja itu sebagai penghiburan.”
“Hehe. Iya, Bah. Lagipula, kalau pun memang seperti itu, jika kakekku jadi kunang-kunang, sepertinya ia tidak suka padaku. Di kota, tak pernah sekali pun aku melihat kunang-kunang.”
“Terserah kamu saja.”
Aku mengangguk. Bah Darman terbatuk.
“Tolong ambilkan air minum. Suruh Wati saja.”
“Iya, Bah.”
Aku buru-buru ke luar kamar dan mencari wanita bernama wati yang dimaksud kakek. Namun, tak kutemukan. Dengan sedikit tergesa, aku sendiri yang mengambil air ke dapur.
Saat kembali, kulihat Bah Darman sudah tertidur. Cepat sekali, pikirku.
Aku menatap tubuh Bah Darman dan mulai merasa ada sesuatu yang ganjil. Bah Darman tidak bernapas!
“Bah?” aku mengguncangkan tubuh ringkih itu. Akan tetapi, tak ada respon. Aku langsung berlari ke luar rumah mencari bantuan.
***
Cerita tentang kunang-kunang adalah jelmaan dari kuku orang mati, atau bahkan orang mati katanya memang menjadi kunang-kunang, mungkin hanyalah bualan paling konyol. Akan tetapi, tetap saja, bagiku, cerita bualan itu merupakan sebuah penghiburan.
2019
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata