Kalian percaya, bahwa dinding dapat menangis, merintih, berbicara, tertawa, dan berdarah?
Tidak? Namun kali ini kalian harus percaya, atau teror Hades akan terus membayangi hidup kalian.
***
Aku berlari mengejar bayanganku.
“Tunggu! Jangan pergi!”
Bayangan itu terus menjauh meninggalkanku di belakang. Kemudian, sebuah lubang terbelah di hadapanku, dan sebuah dinding merah bata tertawa menatapku. Tawa melengking yang membuat telingaku berdenging sakit. Aku menutup kedya telingaku, sesaat kusadari cairan pekat keluar dari lubangnya.
“Grey, bangunlah!”
Aku tersentak dan terjaga dengan peluh membanjiri tubuh.
“Kau baik-baik saja?”
Ibu memberiku segelas air yang langsung kutandaskan. Aku mengangguk sebagai balasan pertanyaannya.
“Sudah lebih baik?” Sekali lagi aku mengangguk.
“Malam Prom night, kamu jaga Verads ya. Ibu akan keluar kota.”
“Tapi, Bu. Aku sudah punya pasangan untuk datang. Ibu tidak bisa pulang lebih awal?”
Ibu tersenyum maklum. Bukannya aku tak ingin mengerti kesibukannya. Ibu yang selama ini harus bekerja pontang panting menjadi tulang punggung setelah kepergian ayah. Aku juga sudah cukup menghabiskan masa mudaku dengan bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji.
“Hmm, mungkin masih sempat kamu datang meski sedikit terlambat.”
Aku tersenyum ketika ibu mengelus kepalaku. Beliau begitu mengerti diriku.
“Baiklah, sekarang pergi berangkat ke sekolah. Kau sudah hampir terlambat.”
Aku beranjak dan bersiap, meski debaran dan ketegangan yang kurasakan masih terasa.
Hari itu cuaca mendung di bulan Februari. Hujan mengguyur kota sejak semalam. Jalanan yang licin dan udara dingin menusuk tulang. Bergelung dalam selimut tebal tentu menjadi hal menyenangkan daripada bergelut dengan tumpukan tugas sekolah. Semakin tak menyenangkan ketika teman sebangkumu adalah dia.
H dengan sorot mata tajam, menghakimi, dan tanpa ekspresi. Karena memang begitulah garis-garis wajah menjengkelkan yang akan selalu tampak di samping bangku miliku. Menatapku lama, sebelum berkata; “Apa kau pernah merasa melewati sebuah misteri setiap hari, tetapi memilih untuk mengabaikan?”
Alisku naik sebelah. Bukankah yang harus dilakukan orang yang pertama kali bertemu adalah menyapa dan memperkenalkan diri? Anak ini pengecualian.
Aku menggeleng dan mengabaikannya. Setelahnya kuputuskan untuk menjauh dan tak berniat akan lebih jauh mengenal apalagi berteman dengan orang aneh sepertinya.
Bukan hanya sekali, anak itu menatapku dengan tatapan yang sama, menanyakan pertanyaan yang sama. Niatku untuk bertukar tempat duduk pun selalu gagal karena kesan intimidasi yang ia miliki.
Terlalu sibuk dengan pikiranku membuatku tak memperhatikan langkah. Buku-buku yang kupegang terjatuh setelah aksi penyerudukkan Felicia yang berjalan tergesa-gesa. Sambil meminta maaf, dia memperingatkan padaku sedikit histeris di antara napasnya yang satu-satu.
“Jangan melewati jalan itu! Jangan pernah datang ke Prom night!”
Dia juga mengabarkan pada semua orang seperti orang tak waras kehabisan obat. Gadis tuli yang aneh. Entah mengapa banyak sekali orang aneh yang berkumpul di sekolah ini.
Di ujung jalan, H menyeringai ke arahku. Dia mendekat, tanpa sadar aku dengan reflek melangkah mundur. Aku sangat yakin tidak berhalusinasi, ketika anak itu menabrakku, namun aku tak dapat merasakan tubuhnya.
***
Semenjak Fee menyuruhku tidak melalui jalan biasa, aku selalu memilih rute yang jauh untuk sampai ke sekolah. Hari ini tidak lagi. Aku sudah terlambat. Memilih jalur cepat adalah langkah yang tepat.
Ini adalah jalan pintas yang aku temukan secara tak sengaja, minggu lalu. Sebuah jalan sepi yang jarang dilewati, aspalnya masih mulus, belum pernah diganti, tanah basah musim semi, bangunan-bangunan menjulang yang jarang ditempati, sebuah lapangan dengan rumput-rumput basah panjang yang tak dipotong hingga tinggi.
Dan baru pertama kali kusadari, terdapat sebuah brick wall dipenuhi lumut dan warna gosong di beberapa bagian, berdiri sendiri, tidak terlihat seperti salah satu peninggalan dari reruntuhan bangunan.
Aku jadi teringat perkataan H tempo hari.
“Lihat dindingnya!”
Aku mengamati lebih lekat, seolah ada magnet yang menarikku untuk menyentuhnya.
Hiks Hiks
Suara isakan.
Aku menoleh kanan-kiri, tiada siapapun selain aku sendiri. Bulu romaku meremang. Apa ini? Tanganku berlumur cairan berbau anyir. Merah gelap.
DARAH!
Ya Tuhan! Darahku membeku seperti bongkahan es kutub. Sebuah getaran suara terasa panas meleleh di telingaku.
“Welcome to the hell!”
***
Aku terjaga di sebuah ruang yang sangat aku kenali. Bagaimana aku bisa sampai di kelas? Bukankah tadi….
Kuperhatikan di sekeliling. Ada yang aneh dengan mereka. Semua murid seolah terserap pada satu focal point pelajaran di depan. Terlalu hening, bahkan suara bisik-bisik atau pun deru nafas halus tak terdengar.
H di sebelahku, menyeringai. Aku menatapnya marah. Rasanya ingin kucabik dia karena telah mempermainkanku. Akal sehatku mencegah. Di balik disorientasi waktu yang kualami, logikaku menyatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah sebuah mimpi.
Ya, mimpi yang terasa sangat nyata.
“Kau percaya?” tanyanya.
Aku mengabaikannya.
***
Semua berangsur kembali normal setelah jam istirahat berlangsung.
Aku memberitahu Geby–pasangan prom nightku–aku mungkin akan datang sedikit terlambat. Jadi, dia boleh saja menggantikanku. Geby menolak dan berkata kalau dia juga tak yakin dapat datang. Baru beberapa menit yang lalu aku berbicara dengan Geby, langit berubah senja, dan aku berada di jalan semula. Semua seperti pertunjukan sulap yang dapat mengunah apapun dalam sekejap mata.
Langit berubah gelap. Aku telah berada di luar rumah. Bergegas aku masuk ke dalam, kakiku tercegat sulur-sulur tanaman rambat yang membelenggu. Aku tersungkur, terseret seperti karung pasir menuju ke kegelapan.
Aku meronta sekuat tenaga, hingga satu per-satu batu bata berjatuhan, menghantam tangan, wajah, dan kepala. Sekujur tubuhku dibanjiri cairan merah, amis, sangit.
DARAH!
Dinding-dinding belapis beton, berjatuhan melingkari sekelilingku. Aku terjebak.
“SIAPA KALIAN?!! APA MAU KALIAN?!” teriakku, yang dibalas tawa mengejek.
Hingga bongkahan dinding lain jatuh dari arah langit, membawa kegelapan dan merenggut napasku. Sayup-sayup terdengar sebuah suara.
“Sang penyelamat harus mati.”
Tbc ….
Heuladienacie, seorang penulis amatir yang masih terus belajar mengembangkan tulisannya. Pernah beberapa kali tergabung dalam beberapa antologi. Wanita 23 tahun penyuka cokelat dan kucing ini bisa ditemui di akun Line, Ig, Wattpad: @heuladienacie
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata