Bumi Tua

Bumi Tua

Bumi Tua
Oleh : Ning Kurniati

“Bumi sudah tua, Marjuki!”

“Kau berkata apa, Acok? Jaga bicaramu itu! Lihatlah rumput-rumput, mereka masih hijau membanjiri tembok pagarku.”

“Kukira kau itu cerdas. Ternyata kau tak lebih bodoh dariku.”

“Kau berani menghinaku. Hei, sekarang itu zaman tidak seperti dulu lagi. Kau bisa kena jerat undang-undang.”

“Eeedan!” ucap Acok sembari berlalu.

Marjuki dengan tubuh yang sudah membungkuk kembali berusaha menghilangkan rumput-rumput yang melapukkan pagar rumahnya. Emosinya tersulut gara-gara si tua yang selalu dengan celana usang selutut itu tidak ada angin tiba-tiba datang bicara asal. Mereka berdua memang tak pernah akur sepanjang sejarah kehidupannya. Bahkan, uban yang sudah memenuhi kepala juga tak mengubah keadaan. Iya, biasanya orang semakin tua akan semakin bijak menanggapi. Namun, itu pengecualian untuk mereka.

“Kek, aku pamit dulu, ya!” 

“Mau ke mana kamu sepagi ini?”

“Kakek ini kebiasaan bertanya. Apa tidak lihat pakaianku ini pakaian apa?”

“Memangnya itu pakaian apa? Itu kaos ‘kan.”

“Ka-keeek.”

Marjuki mendengkus, tidak paham alasan Marina lari keliling kampung. Dia menggeleng bersamaan dengan hilangnya sang cucu di tikungan jalan. Hal yang tidak berguna menurutnya. Orang-orang dahulu lebih suka tidak berkeringat, sehingga mendapat pekerjaan dalam ruangan adalah hal yang diidam-idamkan. Sekarang malah orang sengaja sekali ingin berkeringat. Eh, ada pula sampai bangun bangunan yang berisi alat-alat olahraga demi mengeluarkan keringat. Zaman memang sudah berubah. Tetapi, lebih baik cucunya itu menemaninya bersih-bersih, dua keuntungan sekaligus: keringat keluar, rumah menjadi bersih. Lebih berguna, pikirnya.

“Sayur, sayuuur,” pekik tukang sayur, seketika Marjuki marah dan melihat sinis. “Sayur, Pak?”

“Apa kau tidak lihat terong, tomat, dan kacang-kacangan itu,” tunjuknya ke arah samping rumah.”

“Siapa tahu Bapak mau beli labu atau kangkung at–“

“Tidak butuh,” ucapnya sembari masuk ke dalam rumah.

Benar-benar pagi yang tidak mengenakkan baginya. Marjuki menghela napas, kemudian duduk di ruang tengah dan menyetel televisi. Sebagai seorang yang pernah menganggap benda itu sebagai hal istimewa—di masa muda dahulu—menjadikannya tidak pernah bosan menonton, menganggap benda itu adalah tempat meredam gejolak kesal. Televisi adalah pelipur lara. Di lain waktu terkadang dia akan menjadi jengkel dan marah. Hal itu ketika tayangan berupa kabar pejabat yang menggelapkan uang rakyat atau kasus kriminal yang korbannya perempuan dan tersangkanya laki-laki. Dasar pengecut!, pikirnya.

Dia masih menonton dan sudah melupakan kasus Acok, Marina dan tukang sayur itu, tetapi orang-orang di luar sana ribut bagai tawon yang sedang migrasi. Benar-benar mengganggu. Dia lantas berjalan ke luar dan betapa tercengangnya semua orang tengah berlari sambil meneriakkan banjir! banjir bandang! banjir bandaaang! Insting, dia ikut lari tanpa sempat menutup pintu, mematikan televisi, atau mengingat kejadian yang membuatnya resah.

Manusia kasat-kusut. Binatang kocar-kacir. Air menggulung. Hancur sudah apa yang diagung-agungkan. Bumi telah diairi. Tak ada yang tak kena imbasnya. Teriakan histeris, minta tolong, bahkan mereka yang sudah lupa kapan menyebut nama Tuhannya pun tiba-tiba menjadi begitu rindu. Penyesalan, jangan tanya lagi, sudah melebihi akar tunggang yang begitu dalam menancap.

“Kenapa kau lari, Marjuki?”

“Apa kau sinting, Acok? Lari!”

“Kenapa aku harus lari? Toh, aku sudah menunggunya selama ini.”

“Dasar laki-laki gila!”

Acok tidak menanggapi malah tersenyum melihat semua orang berlarian. Air memang tidak punya kaki, tapi percuma ia lebih cepat dari siapa pun kali ini. Jadi, dia sama sekali tidak berpikir untuk bergerak menjauhi gubuknya. Gubuk yang tidak banyak disinggahi oleh warga kampung itu. Dia berniat menjaganya sampai akhir, tidak mau berbuat yang sama dengan orang-orang. Mereka sudah susah payah membangun rumah, merawatnya, lalu sekarang meninggalkannya, membiarkan air menyapu semua bukti jerih payah. Sia-sia, pikir Acok.

Acok masih berdiri menanti air yang dari kejauhan sudah terlihat. Perlahan-lahan merayap. Awalnya hanya menyentuh tanah yang dipijaki, lalu kakinya, lalu betisnya, lalu pahanya. Dan dia semakin semringah menunggu air itu menyentuh seluruh tubuhnya, membasuhnya, dan melalap habis dirinya bersama gubuk yang dicintai. Tangan pun direntangkan seolah yang disambut adalah sahabat lama yang sudah sangat ingin ditemui. Dia menikmati saat-saat itu, tertawa kemudian berguman “Bumi sudah tua, Marjuki!”  sebelum benar-benar menyatu dengan gelombang air. (*)

 

Makassar, 25 Agsutus 2019

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah setiap harinya. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply