Kenangan yang Tajam

Kenangan yang Tajam

Kenangan yang Tajam
Oleh : Erlyna

Kau yang satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu ….

Dinar mengerjap beberapa kali sebelum tangannya meraih ponsel di samping bantal, menekan tombol untuk mematikan alarm. Sepasang matanya menyipit, berusaha beradaptasi dengan sinar matahari yang masuk lewat celah jendela.

Layar ponsel menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Dinar bangkit sambil memijat kening, kepalanya terasa berat luar biasa. Sudah hampir satu tahun laki-laki bertubuh kurus dengan rambut sebahu itu kurang tidur. Sepasang lingkaran hitam di sekitar matanya terus bertambah gelap dari hari ke hari.

“Mau kerja, Mas?” sapa penjual nasi uduk di depan tikungan indekos tempatnya tinggal.
“Iya, Mbok.”
Dinar tersenyum sambil membungkuk, lalu meneruskan langkah menuju sekolah tempatnya mengajar. Dinar adalah guru kesenian di salah satu SLB. Laki-laki itu menghabiskan hari-harinya bersama anak-anak dengan kemampuan luar biasa.

“Pak Dinar, selamat pagi.”
Di depan gerbang, satpam sekolah menyapa dengan ramah. Mau tidak mau Dinar membalas sapaan, sambil memaksakan senyumnya. Di sepanjang koridor kelas, Dinar menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir rasa nyeri yang sejak tadi menusuk-nusuk. Langkah kakinya terhenti saat sebuah tangan kecil terjulur di hadapannya.
“Nina?”
Gadis kecil yang disapa Dinar menatap sambil tersenyum manis. Tangannya bergeming di hadapan Dinar, menggenggam sebotol minyak kayu putih ukuran kecil.
“Ini buat Bapak?” tanya Dinar bingung.
Gadis kecil yang dipanggil Nina itu mengangguk, masih dengan senyumnya yang khas.
“Terima kasih, Nak.” Dinar berlutut, lalu mengusap kepala gadis kecil yang bisu itu. Nina adalah murid tahun keempat. Di antara semua anak-anak penghuni SLB, Nina salah satu anak yang perhatian sekali dengan Dinar. Katanya, Dinar mirip dengan ayahnya yang sudah meninggal.
“Sudah hampir bel, ayo masuk ke kelas,” ucap Dinar lembut, seraya meraih tangan Nina lalu berjalan menyusuri koridor menuju kelas di ujung tikungan.

Bagi Dinar, SLB tempatnya mengajar sekarang adalah tempat yang amazing. Dinar yang dulunya selalu berpikiran sempit dan menyukai sesuatu yang serba sempurna, pelan-pelan mulai menyadari, bahwa hidup tidak membosankan seperti yang selalu dipikirkannya. Lewat SLB ini, Dinar belajar banyak hal tentang bahagia yang sesungguhnya. Bahagia yang tidak pernah Dinar bayangkan sebelumnya.

Sore itu, usai mengajar Dinar berjalan di kawasan pertokoan yang menjual aneka alat kerajinan tangan. Dinar membeli beberapa kertas karton, lem, gunting, dan bubuk glitter untuk persiapan prakarya di kelasnya besok. Saat di depan meja kasir, Dinar melihat sebuah kotak berwarna hitam dibungkus kain beledu. Kotak musik. Dinar menatap dan memeriksa beberapa bagian lalu tersenyum.

“Silakan kotak musiknya, Mas. Lagu yang diputar sangat manis. Anda bahkan bisa merekam lagu Anda sendiri untuk diberikan kepada seseorang,” ucap penjaga kasir dengan wajah ramah.
Dinar termenung cukup lama, lalu mengembuskan napas berat.
“Tidak, terima kasih. Saya beli alat-alat prakarya ini saja,” ucap Dinar sembari menyerahkan keranjang belanjaannya.
Langkah kaki Dinar melambat saat tubuhnya tiba di depan ruangan kenanga nomor 100. Laki-laki berusia menjelang kepala tiga itu mengucap salam lirih, lalu memutar hendel pintu. Langkahnya terhenti saat menyadari seorang dokter dan perawat sedang memeriksa pasien di kamar yang dimasukinya.
“Dokter, bagaimana?” tanya Dinar lemas. Kentara sekali kalau pertanyaan yang dilontarkannya itu hanya untuk basa-basi.
“Pasien menunjukkan pergerakan. Kemungkinan besar, dalam waktu dekat dia akan sadar,” ucap dokter dengan wajah cerah.
Dinar mengangkat kepalanya, matanya yang sejak tadi layu kini seperti bohlam yang baru saja diganti, berbinar-binar.
“Apa? Serius, Dok?”
“Ya. Mari kita sama-sama berdoa. Semoga mukjizat itu benar-benar ada.”
“Baik, Dokter.”
“Kalau begitu saya permisi.”
“Terima kasih banyak, Dok.”
Dinar menatap sosok tubuh di atas ranjang yang terlihat pucat dengan mata terpejam. Dipandanginya sosok itu dengan berkaca-kaca. Dinar tidak menyangka, penantiannya selama satu tahun ini akhirnya memiliki harapan. Harapan yang sebelumnya hampir hilang dari dadanya.
“Mahla ….”
Dinar membelai kepala gadis di atas ranjang yang tidak lagi terbalut perban. Dirabanya bekas jahitan yang memanjang dari tengah kepala hingga tulang pipi sebelah kanan. Tubuh Dinar bergetar, pertahanannya runtuh saat itu juga.
***
Mahla mengendarai sepeda motor sekencang yang ia bisa. Tidak dihiraukannya gerimis yang mulai turun satu-satu. Perasaannya tidak keruan, antara percaya dengan ucapan yang diyakininya atau tidak percaya dengan apa yang baru saja ditangkap sepasang matanya. Napasnya memburu, seperti ada sebuah ledakan yang mendesak ingin keluar dari dadanya.

Gadis yang berprofesi sebagai model majalah itu tidak menyangka, bahwa laki-laki yang sangat dicintai bisa memeluk wanita lain tanpa sepengetahuannya.
“Mas Dinar … kamu keterlaluan!”
Mahla mengumpat pelan. Digigitnya bibir bawah kuat-kuat, berusaha membagi perasaan berkecamuk yang menyerang dadanya ke bagian tubuh lain. Gadis itu mulai terisak. Pandangannya mulai kabur diguyur hujan yang semakin deras. Tiba-tiba ia merasakan ponselnya bergetar di saku belakang. Belum sempat ia memeriksa siapa yang menghubungi, ponsel itu terlempar ke sisi kanan jalan. Sayup-sayup terdengar lagu yang menjadi tanda panggilan masuk. Pemilik suara itu adalah orang yang sama dengan nama yang tertera di layar ponsel, Dinar.

Kau yang satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu ….

Tiba-tiba ponsel itu mati, bersamaan dengan tubuh Mahla yang berhenti berguling-guling dan menabrak pembatas jalan. Suasana hening sesaat. Mahla seperti merasakan waktu berhenti berputar. Potongan-potongan kenangan berkelebat menusuk-nusuk kepala. Lalu semuanya gelap.

***
Sinar matahari menyilaukan mata. Dinar terbangun saat merasakan sebuah telapak tangan dingin menyentuh pipinya. Wajah bangun tidurnya itu berubah kaget, saat melihat sosok di sampingnya membuka mata, tersenyum samar ke arahnya.
“Mahla … akhirnya kamu bangun ….”
Ada nada penyesalan di ujung kata-kata Dinar. Betapa begitu banyak cerita yang ingin dia bagi, seolah-olah semuanya berkumpul menjadi satu dan berdesakan minta dikeluarkan.
Tiba-tiba Dinar merasa takut. Apakah selama ini Mahla mendengar cerita yang selalu ia ceritakan tiap malam? Tentang kecelakaan yang menimpa Mahla, tentang kakinya yang sekarang lumpuh dan telinganya yang tidak lagi bisa mendengar. Jangan-jangan Mahla juga mendengar ceritanya perihal kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan ibu angkat Nina. Salah paham yang mengakibatkan semua ini terjadi.
“Mahla … aku ….”
“Tidak apa-apa, Kak. Aku sudah tahu semuanya. Aku mendengar semuanya dalam tidurku.”
Dinar hanya bisa menunduk. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
“Aku akan panggil dokter.”
“Kak Dinar ….”
“Ya?”
“Lagu itu … bolehkah aku mendengarnya sekali lagi?”
Dinar terdiam. Hanya dadanya yang naik turun dengan cepat, mengimbangi napasnya yang memburu.
“Maukah Kak Dinar bernyanyi untukku sekali lagi? Meski aku … meski aku tidak bisa mendengar ….”
Pertahanan Dinar tak lagi terbendung. Air matanya tumpah tanpa bisa dicegah. Ia mengambil gitarnya di sudut ruangan, lalu duduk kembali di samping Mahla.

Bidadari tak bersayap datang padaku
Dikirim Tuhan dalam wujud wajah kamu
Dikirim Tuhan dalam wujud diri kamu
Sungguh tenang kurasa saat bersamamu
Sederhana namun indah kau mencintaiku
Sederhana namun indah kau mencintaiku ….
Sampai habis umurku sampai habis usia maukah dirimu jadi teman hidupku
Kau yang satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimuhidup denganku ….
Mahla memejamkan mata. Air matanya mengalir deras. Batinnya sungguh tersiksa. Dia berusaha keras menghayati lagu yang dinyanyikan Dinar. Lagu yang selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali dengan sosok sederhana itu. Lagu terakhir yang didengarnya … lagu yang kini merenggut semua mimpi-mimpinya.


Di luar jendela, kicau burung menyambut pagi yang kali ini terasa lebih dingin dari biasanya, lebih sendu dari biasanya, lebih sunyi dari biasanya, dan lebih menusuk dari biasanya.
Diam-diam aku memandangi wajahnya
Tuhan ku sayang sekali wanita ini
Tuhan ku sayang sekali wanita ini …. (*)

 

Purworejo, 10 Agustus 2019

Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply