Takdir
Oleh : Reza Agustin
Mungkin para malaikat senior akan tertawa terbahak saat membaca tugas yang berserakan di meja malaikat magang itu. Jangankan malaikat senior, malaikat magang sendiri pun terkekeh sambil memijat pelipis saat mendapat tugas tak lazim di masa kerjanya yang baru berjalan beberapa abad. Ia masih terlalu junior untuk mengambil tugas ini.
Takdir manusia memang sudah digariskan oleh Tuhan kepada makhluk-Nya. Sejak berumur empat bulan dalam kandungan, sejak roh ditiupkan, semua garis takdir mereka telah dicatat. Walau terkadang manusia sendiri lebih senang menyangkal takdir mereka. Sedangkan bagi malaikat itu sendiri, membaca garis kehidupan manusia seperti membaca roman. Ada kalanya menguras air mata, ada kalanya pula hanya meninggalkan wajah datar, jarang sekali di antara garis kehidupan manusia yang membuat malaikat menyisakan gelak tawa.
“Manusia memang terkadang membuat kita geleng-geleng kepala, tetapi kali ini takdir yang ditiupkan Tuhan pada dua manusia ini yang membuat kita tertawa,” ujar salah satu senior saat mendatangi malaikat magang itu. Tangannya memilah kertas yang dipenuhi tulisan-tulisan rapi tersebut.
Malaikat magang ikut mengambil selembar kertas, membacanya setengah bergumam, “Perempuan yang mempunyai waktu dua puluh lima jam dalam sehari. Lalu yang satunya laki-laki yang dalam satu harinya hanya punya dua puluh tiga jam.”
Pagi itu ketika tumpukan tugas akan datang untuk dibagikan, malaikat magang sudah mendapat firasat tak baik. Ketika meja malaikat lain mulai dipenuhi tugas yang menggunung hingga menyentuh atap, meja malaikat magang bersih. Hanya tersisa sebuah pena dan botol tinta. Beberapa malaikat senior lain yang menyadari akan datangnya sesuatu yang tak lazim terkikik geli sembari melirik malaikat magang. Mereka menggumamkan tentang sesuatu.
“Mungkin dia bakal dapat pekerjaan luar biasa pertama kalinya dalam tujuh abad ini.”
“Ayo bertaruh dia akan menyerahkan tugasnya pada salah satu dari kita.”
“Aku kasihan pada bawahannya nanti, tetapi aku lebih penasaran pada honornya.”
Malaikat magang itu menelan ludah berat. Seperti menelan bongkahan batu. Bisikan mereka sedikit banyak membuat malaikat magang itu tak nyaman duduk. Ia ingin lari, tetapi terlambat. Tumpukan tugas jatuh dari mejanya setelah portal langit-langit terbuka. Menjatuhkan dua tumpuk kertas. Hanya dua. Bahkan tak ada sepertiga dari tugas yang lain.
“Selamat menikmati pekerjaan istimewa pertamamu,” seru salah satu seniornya dari balik tumpukan kertas. Wajahnya tak terlihat, antara tertutup kertas dan malaikat lain yang berseliweran.
Ketika ia pertama kali membuka berkas, mejanya dipenuhi malaikat senior lain yang mengintip. Tak butuh waktu lama sampai tawa itu terdengar. Mereka sesekali mengusap air mata yang menggenang, menepuk pundak malaikat magang, atau bersimpuh sembari memukul lantai.
“Semangat, ya!”
Secepat mereka mengerubungi meja anak baru, secepat itu pula mereka kembali ke meja masing-masing. Beberapa di antara mereka masih tak bisa berhenti tertawa. Dan malaikat magang pun mau tak mau ikut tertawa. Bingung bagaimana ia menjelaskan tugas ini pada penjaga kiri dan kanan manusia.
“Ini masih tergolong normal, kok. Dulu tugas istimewa pertamaku seorang manusia keterbelakangan mental yang bisa menyeberang alam jin, punya anak dengan mereka , lalu membangun kerajaan sendiri. Kamu pasti tak tahu betapa repotnya kami harus rajin-rajin menyeberang alam jin dan manusia.” Seniornya meletakkan kembali kertas di meja anak baru.
“Lalu akhir hidupnya bagaimana?”
Seniornya agak terkekeh sebelum melanjutkan, “Dia masih dianggap gila sampai kematiannya. Dia meninggal karena tersetrum di pohon mangga. Istri jinnya ngidam mangga muda. Kasihan sekarang jadi janda dengan delapan belas anak.”
Malaikat magang kembali duduk tegak, membaca lagi tugasnya. Kali ini lebih cermat.
“Mereka lahir di hari yang sama, tetapi yang satu jatah hidupnya berlebih, yang satu jatah hidupnya kurang. Kalau mereka bertemu, ada keajaiban yang terjadi. Hmm, mungkin aku bisa menyelesaikannya. Semoga juga Rakib dan Atid punya reaksi yang lebih normal setelah membaca tugas ini.”
Malaikat magang mengambil pena bersiap membubuhkan tanda tangan dan cap sebelum diserahkan kepada Rakib dan Atid masing-masing manusia yang akan mereka jaga.
“Jangan lupa tulis nama manusianya. Sudah berapa kali dibilang masa lupa,” tegur seniornya, sembari menunjuk kolom kosong di kertas.
“Oh, iya lupa. Tugas pengawasan, untuk Delia dan Bagas.”
Takdir untuk dua calon manusia itu telah ditetapkan.
Tentang perempuan yang mempunyai dua puluh lima jam dalam sehari dan laki-laki yang hanya memiliki dua puluh tiga jam dalam satu hari hidupnya.
Reza Agustin, pecinta fiksi dan kucing. Penggemar Hallyu dan pemimpi. Facebook: Reza Agustin Wattpad: @reza_summ08 Instagram: @Reza_minnie Kalau khilaf, cari nama saya di Kaskus, Joylada, dan Tinlit.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata