Hikayat Suara Tokek

Hikayat Suara Tokek

Hikayat Suara Tokek

Oleh: Karna Jaya Tarigan

Pagi masih terasa sejuk. Embun bening yang menempel di daun-daun pun belum pergi. Suara engsel pintu pagar yang bergeser membuat bunyi decit berisik, membangunkan sang pemilik rumah.

Seorang perempuan muda tampak sedang membuka tirai jendela dan mengintip keluar. Sejenak ia kaget dan dengan refleks berteriak, “Doni … Dini … Kakek dan Nenek datang. Ayo bangun!”
Kemudian perempuan itu segera membukakan pintu, seraya memeluk erat kedua orangtuanya.

Tak lama, dua orang bocah keluar dari dalam kamar, datang menghampiri dan memeluk rapat sang Kakek. “Kakek … Nenek ….”

“Halo, Sayang. Apa kabarnya? Ini kami bawakan oleh-oleh. Keripik apel dan klentingan khas Malang.” Tangan Nenek menyodorkan sekantong plastik besar berwarna putih.
“Aduh … Bapak dan Ibu, kok, nggak ngomong-ngomong, sih, kalau mau datang. Sudah gitu nggak ngasih kabar lagi …. ” Senyumnya mengembang sambil baru terkejut.
“Iya. Kami sengaja tidak memberi kabar. Biar kejutan, he he he.” Sang Ayah tampak tersenyum lucu, ia tak sengaja memperlihatkan beberapa giginya yang telah tanggal.

Dua bocah yang lucu itu segera mengambil bungkusan yang ada di tangan Nenek. Dan mereka tertawa senang setelah mendapatkan oleh-oleh camilan.

**

Kedua bocah itu tengah asyik bermain di ruang tamu saat orangtua mereka telah lama tertidur dan tenggelam dalam mimpi.
“Ayo kalian segera bobo, ya! Udah malem lho ….” Lelaki tua itu berusaha mengingatkan kedua cucunya ketika malam mulai beranjak larut.
“Tapi kami ingin mendengarkan dongeng dari Kakek. Udah lama nih …. Ayah nggak pandai bercerita, Kek.”
“Baiklah. Tapi setelahnya, kalian harus bobo ya …. ”
“Iya, iya. Tenang aja, Kek.” Kedua bocah itu segera mengambil posisi duduk yang paling nyaman. Bersandar pada dinding sofa. Keempat pasang mata menatap bibir sang Kakek. Kali ini, kisah apalagi yang hendak diceritakan oleh sang Kakek.

**

Lelaki tua itu menarik napas sebentar, untuk mengingat isi dongengnya. Lalu ia mulai bercerita.
“Pada dahulu kala, di suatu hutan yang hijau dan indah, di mana para hewan saling hidup dengan rukun, berbagi makanan dengan adil kepada sesama. Tak ada binatang yang pernah bertikai. Kedamaian memenuhi seluruh penjuru hutan. Semua hewan hidup dengan tenang. Kambing mengembik dengan ceria; kancil bermain ke sana-kemari; tupai berlari dengan lincah dan bebas; burung merak betina berjalan anggun dengan ditemani jantannya, menunjukkan helai-helai sayapnya yang indah. Pun demikian dengan hewan-hewan lainnya. Tenteram dan damai berada di hutan raya. Meski harimau telah menjadi penguasa hutan, tetapi harimau memerintah dengan bijaksana. Dahulu belum ada hewan yang nakal dan jahat. Semua hewan masih mempunyai sifat yang baik, suka berdamai. Sepertinya, pada zaman dahulu mereka masih mempelajari budi pekerti.
“Sampai suatu ketika, datanglah ke dalam hutan rimba, sepasang tokek yang akan mengubah segalanya. Mereka mempunyai tutur kata yang manis, pandai bercerita, dan membuat pantun-pantun yang indah. Konon semua hewan akan langsung menyukai dan tidak pernah menolak persahabatan yang mereka tawarkan. Di rimba raya yang sepi, selain makan dan tidur, mengobrol atau mendengarkan cerita adalah obat yang manjur untuk menghabiskan waktu. Tokek adalah penghibur yang hebat. Biasanya para hewan selalu terlihat berkumpul di suatu tempat yang datar. Lalu duduk bersama sambil mendengar dongeng-dongeng menyenangkan yang dibawakan oleh tokek. Konon dongeng-dongeng itu bukan berasal dari dalam hutan tersebut, melainkan dari suatu tempat yang sangat jauh. Satu tempat yang entah. Bahkan harimau, sang Raja Hutan yang sanggup berlari begitu cepat, sama sekali belum pernah menginjakkan kaki-kakinya ke satu tempat yang asing yang sering diceritakan itu.
“Semua hewan kan juga menyukai dongeng. Sama seperti kalian,” begitu kata Kakek menggoda.
“Iya, Kek. Oke, lanjut ….”
“Namun sayangnya, ketika mereka telah disukai oleh banyak hewan, sikap mereka juga menjadi berubah. Sepasang tokek berubah menjadi tinggi hati. Bahkan mereka juga mempunyai keinginan lain: memiliki hutan bersama yang ditempati oleh hewan-hewan lainnya.”
“Mana mungkin, Kek? Tubuh tokek kan kecil!” Kedua anak itu memprotes.
“Hehehe. Kalian memang pintar, “ Kakek memuji. Lalu ia melanjutkan kembali ceritanya, “Tokek sebenarnya tahu bahwa tubuh mereka kecil. Pun, tidak berdaya sama sekali jika melawan hewan terkecil yang pernah ada di hutan. Tetapi mereka mempunyai banyak akal. Jadi mereka membuat beberapa siasat yang licik. Caranya adalah, tokek hendak mengadu domba semua hewan. Yang pertama-tama menjadi sasaran mereka adalah harimau. Mengapa? Sebab harimau adalah hewan terkuat yang ada di hutan. Jadi jika mereka telah menyingkirkan harimau, pekerjaan berikutnya lebih mudah. Lalu tokek mengarang cerita: bahwa selain harimau, ada pula penguasa rimba lainnya yang ‘lebih perkasa’. Hewan itu adalah singa, sang penguasa rimba sesungguhnya …. Kemudian sepasang tokek itu mulai kasak-kusuk mengembuskan cerita ke seluruh penjuru hutan. Bahkan dengan sengaja pula menambah-nambahkan kata-kata sesumbar ‘harimau tidak ada apa-apanya’, dengan harapan, harimau akan mendengar dan kupingnya menjadi panas seketika, lalu segera berangkat mencari singa untuk mengalahkannya.”
“Oh, begitu, Kek, cara tokek mengadu-domba!”
“Ya, begitulah cara jahat yang digunakan keduanya.” Lalu kakek melanjutkan dongengnya kembali, “Pada awalnya, harimau itu memang biasa-biasa saja saat mendengar cerita itu dari mulut kancil yang baik. Tetapi ketika cerita itu menyebar dan berkumandang dari mulut ke mulut, tak ayal membuat sang Raja Hutan menjadi geram dan jengkel, terbawa emosi. Suatu hari, dipanggillah kedua tokek itu ke dalam istana harimau, sebuah gua besar yang sangat gelap.
‘Kalian tahu, mengapa kalian aku panggil?’ ucap harimau dengan berwibawa.
‘Tidak, Raja Hutan.’
‘Apa benar kata-kata kalian bahwa singa lebih perkasa, dan aku tidak ada apa-apanya dibanding dia?’
‘Benar begitu, Raja Hutan … suatu hari kami pernah mendengarnya. Singa sesumbar di depan hewan-hewan lainnya: bahwa tak ada hewan yang sehebat dirinya.’ Tokek malah semakin mengarang-ngarang cerita.
‘Di mana aku dapat menemui singa itu? Jawablah yang benar, jika tidak aku akan mengusir kalian!’
‘Raja Hutan harus berjalan tujuh hari tujuh malam mengikuti arah matahari terbenam. Setelah menemukan sebuah hutan yang sangat lebat, dan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sesudahnya akan ditemukan satu padang rumput yang sangat luas. Baginda dapat menemuinya, singa, si Raja Rimba yang sombong itu. Waspadalah, Baginda, singa itu sangat kuat. Tetapi cakarnya tidak setajam Baginda.’ Tokek mencoba mengelabui.
‘Baiklah …. Esok sore aku akan berangkat. Mengikut arah matahari terbenam. Awas jika kalian berbohong!’”

**

Kakek berhenti sebentar untuk mengambil gelas kopi, lalu meminumnya. Kemudian ia melanjutkan ceritanya lagi.
“Pada awalnya, seluruh warga hutan mengira jika harimau akan dengan mudah menaklukkan singa, bahkan sang Raja Hutan akan pulang dalam waktu tiga minggu saja. Namun hingga berbulan-bulan lamanya, sang Raja Hutan itu bahkan tidak kembali. Ternyata niat buruk tokek untuk mencelakakan harimau jelas sudah. Mengikuti arah matahari tenggelam adalah suatu siasat untuk mencelakakan harimau. Mungkin untuk membuat harimau tersasar dan tercebur sungai yang deras, atau jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
“Akhirnya setelah beberapa lama, seluruh binatang hutan berpikir—sebab empat purnama telah terlewati—mereka semakin yakin, bahwa harimau mungkin telah mati dibunuh oleh singa. Kini mereka tidak ada lagi pemimpin yang dapat diandalkan untuk melindungi diri mereka.
“Setelah mengira-ngira siasatnya telah berhasil, kemudian sepasang tokek itu juga membuat rencana baru yang lebih jahat. Mereka mulai mengadu domba binatang dengan cara menjelek-jelekkan satu sama lain. Contohnya, mereka menyebar berita bohong yang menghasut, bahwa kancil adalah binatang yang suka mencuri, beruang mempunyai sifat pemalas, gajah yang serakah, atau serigala hewan yang licik. Tokek memang sengaja membuat cerita yang tidak benar atau fitnah. Tujuannya adalah, agar cerita-cerita tersebut dapat menumbuhkan bibit permusuhan di antara hewan-hewan. Sehingga binatang hutan mulai saling tidak suka dan tidak memercayai sahabat-sahabatnya sendiri. Jika pikiran-pikiran telah dipenuhi oleh rasa curiga, maka para binatang itu akan saling bertikai, dan akhirnya, tidak ada satu pun yang akan betah tinggal di hutan tersebut ….”
“Oh, begitu, Kek, cara sepasang tokek itu membuat kekacauan!”
“Ya, betul,” ucap kakek

**

Kemudian Kakek melanjutkan lagi ceritanya. Kedua bocah itu masih mendengar dengan saksama.
“Sepasang tokek yang betah tinggal di hutan tersebut, mulai bertelur dan terus bertelur sehingga mempunyai anak-anak yang berjumlah sangat banyak. Lama-kelamaan seisi hutan dipenuhi oleh suara celoteh anak tokek di mana-mana. Begitulah cara tokek menguasai hutan. Halus dan perlahan-lahan.
“Kini satu per satu hewan mulai tidak betah dan meninggalkan hutan damai tersebut. Selain berisik, keakraban yang dahulu tercipta juga telah menghilang. Terlalu sering hewan antar hewan berkelahi dengan penyebab yang tidak jelas. Sepertinya, mereka telah termakan berita bohong yang disebarkan oleh tokek.
“Namun kelak, setiap kebohongan dan kejahatan yang dibuat pasti akan terbongkar. Pada suatu siang yang panas, kala anak-anak tokek sedang asyik bermain, suara auman harimau yang menggelegar dan kuat mengagetkan seluruh penghuni hutan. Burung-burung yang kebetulan sedang mampir dan mencari makan, segera terbang mengepakkan sayapnya sebab ketakutan. Begitu juga dengan sepasang suami-istri tokek itu. Tubuh mereka juga langsung menggigil ketakutan. Mereka tahu, bahwa bahaya yang sebenarnya sedang mengancam. Harimau telah pulang!”

**

“Lalu bagaimana, Kek, lanjutan ceritanya?” Dino dan Dini sepertinya sudah tidak sabar.
“Sabar dulu, ya. Kakek ingat-ingat lagi,” ucap Kakek sambil tertawa terkekeh-kekeh. Lalu melanjutkan, “Begitu mendengar suara auman harimau yang menakutkan, kedua tokek langsung berteriak dan memanggil anak-anaknya agar segera lari dan lekas bersembunyi. Tetapi terlambat! Sang Raja Hutan, telah menjejakkan kakinya ke hadapan mereka.
‘Kalian penipu! Tidak ada yang namanya singa di hutan tersebut. Aku telah bertanya ke semua penghuni hutan tersebut. Bukannya terluka dalam perkelahian, malah ketika pulang aku sempat terjatuh ke dalam jurang yang dalam. Untungnya aku selamat.’
‘Ooh ….’ Akhirnya hewan-hewan hutan yang sedari tadi mengikuti buntut harimau mulai sadar. Mereka telah ditipu mentah-mentah tokek!
‘Jadi … semua cerita itu adalah karangan bohong tokek belaka. Ia memang sengaja menjerumuskan aku ke dalam jebakannya,’ jelas harimau dengan wajah penuh amarah.
‘Ayo! Kita usir semua tokek dari hutan ini …,’ seru salah satu penghuni hutan.
Dan hewan-hewan lainnya juga ikut berseru dengan serempak, ‘Ayo, ayo ….’
‘Tidak! Aku akan memakan habis seluruh tokek di hutan ini,’ kata harimau menakut-nakuti dengan menjulurkan cakar tajamnya, dan seluruh anggota keluarga tokek lari tunggang-langgang. Mereka berlari tak tentu arah. Asal selamat ….”

**

“Oh, terus bagaimana akhirnya, Kek, nasib mereka?” Dini bertanya akhir kelanjutan hidup keluarga tokek.
“Jika kalian mendengarkan suara tokek berbunyi, begitulah cara mereka memanggil seluruh anggota keluarganya pulang. Setelah kejadian itu, seluruh tokek hidup dengan penuh keterasingan, sebab tak ada satu pun hewan yang mau berteman dengan mereka. Jika mereka bertanya, tak akan ada hewan yang pernah menjawab, atau mau menunjukkan keberadaan tokek-tokek lainnya. Kelakuan mereka yang dianggap sangat buruk, telah melukai hati mereka, hewan-hewan yang lugu …. Jadi, kalian jangan berbuat buruk seperti tokek!”

**
Malam semakin larut. Sayup-sayup terdengar suara aneh dari kejauhan, “Tokek … tokek … tokek ….
“Kakek, Kakek, kami takut ….” Kedua bocah itu segera berlari menuju kamar, mencari tempat persembunyian yang nyaman, berlindung di balik pelukan ayah dan ibu mereka.
Dari ruang tamu, Kakek hanya tersenyum kecil. Besok malam, kedua cucunya yang lucu pasti meminta didongengkan lagi. Ia harus segera tidur juga. Untuk mengumpulkan dongeng-dongeng kembali …. (*)

Karna Jaya Tarigan, seorang penulis amatir yang mencintai dunia literasi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply