Girl in Motion
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Di antara lalu-lalang orang-orang yang berjalan dalam ketidakteraturan, di antara lalu-lalang manusia yang melangkahkan kaki terburu-buru untuk mengejar waktu, seorang gadis tampak mengikuti irama yang serupa di dalam setiap geraknya. Menelusup lincah melewati keramaian manusia urban dan tidak menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Semua orang memang telah terpenjara oleh satu hal yang sama di pagi hari: mengejar waktu. Adalah tubuh yang mengikuti dinamika waktu, bukan sebaliknya …. Begitulah cara hidup di kota besar yang dinamis. Semua harus dilakukan serba cepat, bahkan segalanya telah direncanakan jauh sebelum matahari pagi mengeluarkan cahaya ramahnya.
Melewati beberapa taman kecil di tepi jalur pedestrian, ia berhenti sebentar di perempatan jalan, menunggu lampu lalu lintas segera berganti warna untuk penyeberang jalan. Beberapa detik yang telah terbuang sia-sia. Ia menggeleng-gelengkan kepala pertanda kesal, walau pada akhirnya ia kembali mengayun langkah-langkah kakinya lebih cepat, di bawah bayang-bayang belantara gedung-gedung tinggi. Gedung-gedung menjulang yang kian hari atapnya semakin menyentuh langit Jakarta. Gadis itu bagaikan setitik noktah yang bersembunyi di bawah bayang-bayang raksasa.
Melakoni rutinitas pagi seperti biasa, memang adalah hal-hal yang paling membosankan bagi ia, dan juga untuk semua orang. Namun nyatanya, gadis itu mampu bertahan dan menjalaninya setiap hari dengan penuh kesabaran.
**
Kehidupannya memang diawali dari pagi-pagi buta. Mendengarkan alarm jam yang berdering nyaring. Bangun pagi dengan mulut yang masih menguap dan mata yang terkantuk-kantuk. Meloncat turun dari tempat tidur dan mandi secepat mungkin. Lalu ia segera berpakaian tanpa perlu berdandan. Kemudian ia membuat segelas cereal panas dan menghabiskannya tanpa menunggu uap hangatnya menghilang. Sepasang sepatu kasual tanpa tali dikenakannya, yang nanti akan ditukar dengan high heels setibanya di kantor.
Gadis itu berangkat kerja dengan menaiki ojek daring apa pun, tanpa pernah bisa memilih siapa pengemudinya. Mana sempat, pikirnya. Tiba di stasiun MRT, dengan setengah berlari ia mengejar jadwal kereta. Gadis itu melaju turun melalui “tangga berjalan” yang menurutnya masih terasa begitu lambat. Tentu saja ia harus bergerak lebih cepat. Seperti kebiasaannya, ia berjalan melewati beberapa anak tangga sekaligus, untuk mempersingkat waktu.
Begitu kereta tiba, ia juga masih harus belajar menikmati perjalanan di tengah impitan tubuh penumpang yang berdiri dan berjejal sedemikian sesak. Menanti tujuan, stasiun demi stasiun, dan akhirnya bersiap turun setelah mendengarkan suara rekaman announcer bahwa tujuan hampir tiba. Lalu penumpang-penumpang yang berdesakan ingin segera turun, mendorong tubuhnya keluar tanpa sengaja begitu pintu otomatis terbuka lebar. Ini dilakukannya setiap pagi, setiap sore, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan sepanjang tahun. Kecuali hari libur.
Keterpaksaan … boleh dibilang ya, juga boleh dibilang tidak! Namun nyatanya bukan hanya ia sendiri yang merasakan derita yang sama. Jika bisa mengeluh, suara gumam yang dikeluarkan penumpang lainnya mampu memenuhi udara lorong gerbong-gerbong yang sempit dan mengalahkan suara roda-roda kereta yang berderit berisik.
Setibanya di kantor, gadis itu memulai aktivitas dengan mengucapkan selamat pagi kepada teman-teman yang lebih dahulu tiba. Menyapa “sok ramah” pada atasannya, seorang perempuan paruh baya belum menikah—yang begitu cerewet dan menyebalkan—kala tak sengaja berpapasan muka. Mengangkat gagang telepon dari klien yang sedang menghubungi. Membalas surel-surel. Diomeli atasannya: si nenek tadi yang ternyata belum menjumpai berkas-berkas laporan kemarin di atas meja, dan dengan sangat, sangat sabar ia mendengarkan ocehan—atau ceramah motivasi—di pagi hari tanpa berusaha menjawab atau memberi sedikit penjelasan. Ia tahu dan juga sangat paham: bahwa bos selalu benar dan tak pernah salah ….
Betapa menyebalkan hari-harinya, juga betapa membosankan kesehariannya. Andai saja ada pekerjaan lain yang lebih menyenangkan, karier yang lebih menjanjikan, atau tempat kerja yang lebih dekat dengan tempat tinggal, tentu aku akan memilih satu di antara tiga pilihan itu. Tetapi bukankah mencari pekerjaan di kota besar teramat sulit. Sama sulitnya dengan menemukan jodoh. Gadis itu cuma bisa mengeluh dalam hati. Menerima pekerjaan ini adalah pilihan yang terbaik. Walau bukan hal yang terbaik. Begitu menurutnya.
**
Setibanya di rumah setelah melakukan aktivitas yang melelahkan sepanjang hari, gadis itu langsung menghempaskan tubuhnya pada sebuah sofa empuk tanpa sempat menyeka keringat. Kedua kakinya berselonjor di atas meja, dan jemarinya secara refleks menekan tombol remote televisi. Semua gerakannya seperti terprogram, sebab terbiasa menerima perintah yang sama dari otak setiap hari hingga menjadi sebuah kebiasaan. Televisi segera menyala dan disambut dengan sebuah berita pembunuhan yang mencengangkan dan membuat bulu kuduknya merinding …. Ups! Ia segera mengganti saluran. Baginya hal itu terlalu mengerikan bagi seorang perempuan yang tinggal sendirian. Kali ini berita gosip terbaru: artis pendatang baru yang tiba-tiba memiliki gaya hidup super mewah ala bintang Hollywood terkenal. Ah, paling ia menjual tubuhnya pada setiap lelaki yang ingin menikmati dan sanggup membayar mahal! Atau setidaknya, artis itu menjadi simpanan seorang pengusaha kaya dan ternama. Itu cara lama mengubah hidup secara instan, pikirnya. Namun ia sama sekali tidak mengganti dengan acara yang lain, meski acara tersebut sedikit memuakkan, anggapnya. Ia sungguh tahu, di jam-jam segitu, jika tidak sinetron, debat politik, pastilah acara lain yang tidak kalah membosankan.
Gadis itu berdiri dan meninggalkan televisi untuk bergegas mandi dan tak lupa menyalakan tombol dispenser di sudut dapur. Tak lama, ia telah keluar dari pintu kamar mandi dengan selembar handuk berwarna pink yang membebat setengah tubuhnya, dari paha hingga ke pangkal dada. Berkaca sebentar sambil menelisik setiap sudut tubuhnya perlahan-lahan. Masih terlihat kencang di usia yang ke-28, menurutnya. Ada sedikit rasa lega di dalam hatinya. Berarti ia masih mempunyai waktu, setidaknya sampai empat tahun lagi, sebelum menemukan seorang pria yang dianggapnya paling tepat untuk dipilih sebagai seorang suami. Seorang pangeran tampan yang baik hati dan kaya raya, persis seperti di dalam sebuah dongeng.
Ah! Khayalan yang terlalu tinggi. Siapa juga aku ini? Ia merenung sejenak. Namun bagusnya, gadis itu selalu berpikir positif tentang dirinya. Sebenarnya, ada seorang pria yang sudah lama “naksir” kepadanya. Seorang rekan sekantor yang berbeda bagian. Namun ia enggan menerima pinangan pria tersebut. Sosok pria sederhana yang berambut belah pinggir dan mengenakan kacamata minus yang begitu tebal, tidak pernah sedikit pun mampu membuat debar di jantungnya. Betapa malangnya lelaki tersebut. Cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Sebagai seorang perempuan ia merasa masih bisa memilih dan mempunyai pilihan sendiri. Toh, ini tidak seperti di zaman dahulu, di mana wanita hanya mampu meniti takdir dengan ketidakberdayaannya.
Sejenak ia melupakan pikiran-pikirannya barusan dengan melanjutkan kegiatannya yang lain: mematikan televisi dan memutar musik. Sebuah lagu cinta terdengar merdu. Suara duet Camila Cabello dan Shawn Mendes yang berpadu manis, membuat matanya terpejam.
Ooh, when your lips undress me
Hooked on your tongue
Ooh love, your kiss is deadly
Don’t stop
I love it when you call me señorita
I wish I could pretend I didn’t need you
But every touch is ooh la la la
Ia memejamkan matanya, mungkin sedang terbenam dalam mimpi atau menciptakan mimpinya sendiri. Bersama seseorang di tepi pantai di bawah rona langit jingga. Terhanyut dan terbawa dalam satu nuansa yang romantis. Ia melayang sesaat, hingga perutnya yang berbunyi membuat ia terjaga dan sekaligus kecewa. Khayalannya buyar seketika. Ia berdiri malas dan segera membuat mi siap saji dengan menggunakan air dispenser yang telah berubah panas dan menghabiskannya segera. Lalu gadis itu beranjak menuju ruang tidur. Sebisa mungkin ia melelapkan diri seketika. Mengumpulkan kekuatan untuk esok hari.
**
Begitulah kehidupannya setiap pagi, setiap sore, setiap hari, dan bahkan sepanjang tahun. Nyaris tak banyak yang berubah. Monoton. Ia hanya ingin berontak untuk memecah kebekuan, juga kebosanan. Ia merasa hidupnya hambar seperti memakan sepiring salad tanpa mayones, seiris salmon mentah tanpa digoreng, atau segelas lemon tea tanpa es. Dalam kehidupan yang membosankan seperti itu, seseorang pasti memiliki persamaan-persamaan dengan orang-orang lainnya pula. Yang berbeda adalah, bagaimana cara setiap orang menghabiskan waktu.
Waktu … ya, gadis itu merindukan sebuah waktu bersama seorang pria yang dikasihi. Menari salsa di tepi pantai, di bawah langit malam dengan rembulan yang ceria, dan debur ombak di tepi pantai yang menggelorakan kehangatan cinta. Laut menjadi saksi: bahwa cinta romantis seperti itu ternyata masih ada. Seorang pria tampan yang kaya raya merendahkan tubuhnya sambil mengeluarkan sebuah kotak yang berisi cincin berlian, dan pria itu mengatakan, “Will you marry me?” Tetapi itu juga jelas mimpi gadis-gadis lain kebanyakan. Mimpi-mimpi yang sama. Sama-sama berkhayal terlalu tinggi ….
Sampai di suatu pagi. Di hari Senin yang seperti biasa dan selalu saja sibuk luar biasa. Semua orang melakukan segala sesuatunya dengan gerak terburu-buru. Gadis itu sesekali ingin mendobrak kekakuan dan kebekuan Senin pagi. Kali ini ia mengenakan kacamata hitam, gaun santai terusan, tas backpacker di pundaknya. Ia ingin menikmati hidup dengan caranya sendiri. Sekilas ia terlihat aneh dengan penampilannya, meskipun ia sendiri tidak merasa ada yang salah dengan penampilannya. Dimulai dengan memilih pengemudi ojek daring sesuai keinginannya, turun dengan eskalator tanpa terburu-buru. Keluar dari pintu MRT atau angkutan berbasis massa, dengan langkah yang cenderung lamban. Pagi itu adalah pagi yang diusahakan berbeda olehnya. Namun kala ia menapakkan kakinya di jalan raya, jelas ada yang berbeda pada pagi itu. Ada sebuah keajaiban kecil dari Tuhan bagi ia dan semua orang yang merasa benci dengan pagi yang begitu menjemukan.
Ia, mereka, dan juga semua orang, bukan berjalan di atas aspal jalanan biasa. Melainkan melangkah di atas hamparan pasir putih pantai yang berkilauan. Buih-buih ombak kecil yang berlari ke sana-kemari, menjilati tumit kaki. Pada tembok-tembok dan dinding-dinding kaca gedung-gedung pencakar langit yang berjajar penuh keangkuhan, ia melihat awan-awan seputih kapas bergerak-gerak dan mendekati, memeluk mesra dan menciumi lekat-lekat. Awan-awan itu seperti mencumbu mesra sang kekasih. Ubur-ubur yang berkilauan dengan cahaya keperakan, terbang ke sana-kemari seperti serombongan kupu-kupu yang keluar di pagi hari untuk menjilati dan menghisap putik-putik bunga. Sejauh mata memandang cakrawala langit, hanya ada ikan-ikan yang sedang hilir mudik menelan plankton yang bersinar gemerlap seperti serpihan berlian. Dari kejauhan, tampak beberapa ekor paus sangat besar dengan gerakan-gerakannya yang lamban, berenang sambil bernyanyi sesekali. Seekor hiu sedang memburu mangsanya, bergerak begitu lincah. Bahkan seekor ikan pari besar yang sangat pemalu pun tak ingin ketinggalan untuk menunjukkan keceriaannya. Bergerak begitu anggun. Semua orang hanya terdiam tanpa kata-kata, menikmati pemandangan yang luar biasa. Semua orang sejenak terbebas dari rutinitas paling menjemukan di hari itu.
Tiba-tiba gadis itu teringat akan sesuatu. Ia melepaskan sepatunya dan kemudian mulai menari lepas di atas pasir putih yang berkilauan diterpa cahaya mentari pagi. Tak ada alunan suara musik yang lembut terdengar. Hanya ada suara ombak yang menderu, namun mampu menggoda hasratnya. Ia menari dan terus menari, tak peduli akan tatapan mata orang lain yang mungkin akan mengatakan dirinya aneh atau gila. Ia tak ingin memedulikan hal semacam itu. Gadis itu hanya ingin menikmati sebuah pagi yang mengagumkan. Dan pada akhirnya, semua orang juga melakukan hal yang sama dengan dirinya. Membebaskan diri dengan cara menari, berdansa, atau berjoget dengan cara dan gaya masing-masing. Sebisanya … seenaknya … semaunya …. (*)
Karna Jaya Tarigan, seorang penulis yang berdomisili di Kota Bekasi. Menulis adalah jalan pembebasannya, menurutnya ….
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata