Perempuan yang Meracik Rindu

Perempuan yang Meracik Rindu

Perempuan yang Meracik Rindu
Oleh: Ning Kurniati

Aku kembali mendatangi Anna di halaman rumahnya. Ini hari ketiga. Seperti biasa, dia tidak acuh dengan kehadiranku. Matanya tidak pernah lepas dari akar-akar kayu beringin itu. Seolah hanya ada akar dalam dunianya.

“Anna?”

Dia berdiri dari posisi jongkoknya, menoleh kepadaku sebentar, lalu mengangkat tangan dengan jari-jari merentang tanda menolak. Lalu sesaat berikutnya, menempelkan jari telunjuk pada bibir dengan mata tidak lepas dari akar tersebut.

“Ussshhhh. Jangan mengajakku bicara. Aku ingin fokus mendengar percakapan mereka.”

“Siapa?” Aku ikut berbisik.

“Akar-akar itu sedang berbicara. Tidakkah kamu mendengarnya.” Dia menunjuk ke dalam tanah.

Aku terkesiap, menggeleng dan melangkah mundur. Mana mungkin akar bisa bicara. Sebuah hal yang mustahil. Tumbuhan tidak punya mulut. Baik akar yang kelihatan atau yang tenggelam dalam tanah, tidak ada yang bisa mengeluarkan suara.

“Kamu pasti tidak percaya. Jadi, tidak usah mendatangiku lagi. Pergilah!” ucapnya sembari berjongkok kembali.

“Apa kamu baik-baik saja, Ann?”

“….”

Aku bergeming di tempatku, mengamatinya.

Sebenarnya desas-desus telah lama beredar di masyarakat sini. Sejak kedatanganku kemari tiga hari yang lalu. Bahwa ada yang aneh dengan Anna. Akan tetapi, sebagai orang yang mengenalnya dengan baik, tentu aku tidak memercayainya. Sampai ketika mataku menangkap sendiri perilaku Anna.

Dua puluh menit aku berdiri bersisian dengannya, menunggu. Menunggu dia berhenti lalu mengacuhkanku. Seorang sahabat lama yang berkunjung. Namun, nihil. Mungkin baginya mendengar percakapan-percakapan itu adalah pekerjaan. Mungkin juga tidak. Bisa jadi, percakapan-percakapan itu adalah seni yang indah di telinganya. Layaknya penyanyi papan atas yang sedang mengeluarkan suara emasnya pada para penggemar. Dia banyak berubah.

Lelah. Aku pulang.

***

Menjelang sore, aku kembali mendatangi rumah dengan cat warna merah muda yang enak dipandang itu. Warnanya lembut. Ditambah lagi tanaman yang bunganya didominasi warna putih membuat tampak semakin menarik. Ada rasa nyaman yang tidak bisa dijelaskan ketika melihatnya. Dan siapa pun yang sempat menoleh ke halaman rumah ini akan menganggap semuanya normal, hingga ketika melihat seorang perempuan dewasa yang berjongkok di bawah pohon beringin, di sisi kanan halaman. Memang sepintas tidak aneh, tetapi bila merenung sebentar akan disadari, mana ada perempuan dewasa menghabiskan sebagian waktunya dengan berjongkok, di bawah pohon pula.

Aku menoleh, ke bawah pohon di mana terakhir aku meninggalkannya. Namun, dia tidak ada. Aku mengamati pohon itu sebentar dan merasa ngeri karena membayangkan dia memiliki mata pada daunnya dan sedang menatapku nyalang seolah ingin menelan. Waswas aku menuju teras. Pintu rumahnya tidak dikunci. Dan Lapat-lapat aroma kopi menguar. Itu artinya seseorang ada di rumah. Barangkali Anna. Syukurlah, aku mengelus dada.

“Anna, Anna!” Lagi-lagi tidak ada jawaban. Dan seketika aku tersadar Anna tidak pernah menyukai kopi. Lekas-lekas aku masuk ke dalam rumah menuju asal aroma.

Napas terhela tenang, tatkala kulihat Anna berdiri menuang air panas. Kepulan asap membayang-bayangi wajahnya. Satu lagi keanehan. Ada gelas dan banyak cangkir dengan bentuk yang berbeda-beda. Semuanya terisi kopi.

“A-An … Anna!”

“Hmm, kamu yang datang pagi tadi, yah?”

“Iya. Akan ada acara?”

“Tidak.”

“Ini semua. Kamu mau apakan?” ucapku seraya menunjuk deretan kopi-kopi di meja.

“Uusshhh, jangan ribut nanti racikanku tidak berhasil.”

“Apa pengaruhnya?”

“Sudahlah! Kamu tidak akan mengerti. Ini racikan rindu.”

Seketika tawaku berderai. Baiklah mungkin aku akan dianggap bodoh oleh orang aneh ini. Tetapi, ini semua betul-betul menggelitik. Dia tidak gila, tidak, sebab mana ada orang gila mampu membuat kopi dengan baik. Rindu diracik? Mana bisa. Benar-benar sebuah kebodohan.

“Selesai,” ucapnya.

“Tujuh cangkir?”

“Yah, minimal 7. Terkadang aku membuat 14 atau 21. Tergantung keadaan.”

“Keadaan? Keadaan seperti apa?”

“….”

Ia hanya diam. Tidak bereaksi, apalagi membalas pertanyaanku. Dan raut wajahnya mengundang tanda tanya tersendiri. Semakin diperhatikan semakin bertambah.

Masih dengan bibir yang mengatup, Anna mengangkat kopi-kopi itu ke dalam talenan. Tangannya sangat pelan menyentuh gelas dan cangkir-cangkirnya. Seakan benda-benda itu akan retak bila tidak berhati-hati. Dia kemudian membawa ke meja yang ada di teras rumah. Menyusunnya dalam bentuk lingkaran dengan kopi dalam gelas yang berada di tengah, dikelilingi oleh cangkir-cangkir mungil.

Aku berdiri di ambang pintu mengamatinya. Setelah menganggap kopi-kopi itu berada pada posisi yang tepat. Anna kemudian duduk menghadap ke jalan. Lalu, bersedekap dan mengatur napasnya. Besar dugaanku dia sedang berdoa, tetapi mulutnya tidak berkomat-kamit. Dia berdiam diri di posisinya dengan mata menutup. Barangkali dia sedang memantra-mantrai atau juga tidak ….

Pelan-pelan aku melangkah mendekati kursi yang ada di hadapannya, menarik lalu duduk tanpa menimbulkan decit suara sekecil pun. Dan aku yakin, perempuan dengan rambut sepinggang ini tidak menyadarinya. Anna tenang sekali. Terlalu tenang. Tetapi, tidak ada juga yang mesti membuatnya gusar. Jadi, ini masih wajar. Hanya saja aku yang bawaannya berpikir yang tidak-tidak.

Rambutnya terkibas perlahan akibat tertiup sepoi sang bayu. Setelah sepuluh tahun, ternyata tidak ada yang berubah. Anna masih memiliki alis yang ketebalannya seperti dulu ketika masa putih abu-abu. Bibirnya masih semerah dulu. Wajahnya masih mulus dengan kulit secerah langsat. Bila melihat dengan baik, rupa Anna sangatlah cantik juga manis. Tipe muka perempuan yang semua orang akan senang berlama-lama mengamatinya. Tidak akan bosan.

Sembari menunggu Anna membuka mata, pandangan kuedarkan ke lantai rumah dan seantero teras. Tampak terurus. Bersih, setitik pasir kecil pun tidak ada. Tanaman-tanaman yang berjejer dalam pot-pot, tidak ada yang berdaun lebat. Sisa-sisa guntingan di sana masih jelas bekasnya pada batang dan tiap dahan.

Hal apa yang telah dialaminya sehingga seperti ini. Hipotesis muncul berentetan begitu saja. Tetapi, yang berpeluang besar adalah seseorang telah tega menyakiti Anna-ku. Kalau ada dan kami bertemu, akan kuhajar habis-habisan dia. Berani sekali menyakiti seorang perempuan. Lelaki macam apa dia. Anna terlalu baik untuk disakiti.

Semua kebaikannya, masih terekam jelas. Saat dia membantu orangtuaku ketika sakit. Kehadirannya ketika kedua orangtua meninggalkanku untuk selamanya. Berada di sisiku, membuatku bangkit dari keterpurukan. Sedikit harap, dia masih mengingat itu semua, tentang aku, tentang kami. Secuil pun tak mengapa, asal aku masih memiliki tempat. Karena aku masih akunya yang dulu. Dan dia masih orang yang berarti bagiku sampai kapan pun.

Dia bisa mengandalkanku. Aku Aro, tetap akan berada di pihaknya walau apa pun yang terjadi.
Aku akan menyokongnya untuk semakin menjadi baik, meskipun baru muncul saat dia teramat parah keanehannya. Aku rindu perlakuan yang sudah-sudah, kebersamaan kami. Semoga Anna pulih kembali, Tuhan. Tanpa sadar aku ikut merapal doa dalam-dalam, sama sepertinya. Iya, aku menganggapnya sedang berdoa dengan hati yang dalam. Miris. Rasanya aku tertular virus aneh Anna.

Langit mulai menjatuhkan airnya. Sekejap mengubah sinar sang surya yang terang tadi entah ke mana, mengganti suasana yang menyenangkan menjadi kelabu. Perlahan Anna, membuka mata dan tersenyum melihatku. Sebenarnya dia manis sekali, mungkin sebab lesung pipit di sisi kiri wajahnya yang timbul. Hanya saja, ini aneh karena beberapa waktu yang lalu dia terus saja tidak mengacuhkanku.

“Kau tahu, akar tadi berbicara apa kepadaku?”

Aku menggeleng. Mana mungkin aku mengetahuinya. Dia tersenyum lagi.

“Akar-akar itu selalu sibuk mempredisikan bagaimana kekasihku akan menyambangiku. Mereka berlomba siapa yang duluan dan tepat perkiraannya. Tadi pagi, akhirnya ada kejelasan. Dia akan datang ketika langit sedang menangis.”

“Haaah.” Aku mengernyit. “Kau sudah punya kekasih?”

“Yah, setelah tiga bulan menikah dia menghilang ditelan waktu. Tujuh tahun yang lalu.”

“Ma-maaf, aku tidak tahu. Kopi ini?” Sengaja aku mengalihkan pembicaraan.

“Itu bukan kopi. Sudah kubilang, ini racikan rindu.”

Aku terbahak-bahak. Lama-lama aku bisa gila berbicara dengan Anna. Tawa aku hentikan karena tiba-tiba ada kaca-kaca air di pelupuk matanya.

“Kau menertawaiku?” Dia mendengkus. “Ini adalah minuman dengan komposisi bahan yang pas untuk membuat dia merinduiki dan datang. Itu harapanku. Tidak salah ‘kan aku berharap.”

“Jadi, jam berapa dia datang? Apa jumlahnya harus kelipatan tujuh agar dia datang?” cercaku.

“Iya, harus tujuh. Karena dia meninggalkanku di bulan Juli, di tanggal tujuh.”

“Ooh, di mana dia?”

“Di hadapanku.”

“Di hadapanmu?”

Aku memalingkan muka ke mana-mana dan hanya ada aku. Dia merogoh kantong bajunya. Kemudian, menunjukkan sebuah foto pernikahan. Aku mengamatinya dengan saksama. Tiba-tiba saja rasanya seperti tercekat. Ada yang mencekit. Gambar itu … aku. (*)


Rabu, 12 Juni 2019

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah setiap harinya. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply