Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 5)
Oleh: Halimah Banani
[POV Peony]
Tak ada siapa pun di rumah ini selain aku. Pintu dan jendela masih terkunci sebagaimana saat aku tinggal tidur semalam. Aku menatap nakas, mengambil lalu membolak-balik selembar kertas berwarna hitam yang entah bagaimana bisa ada di kamarku. Setelah membaca apa yang tertulis di kertas itu, aku menghela napas, menatap langit-langit kamar.
“Kamu ingin aku datang ke tempat ini?” gumamku.
Hari masih hening, jam menunjukkan pukul 04.03. Setelah kurasa cukup menatap langit-langit kamar dan membayangkanmu, aku memikirkan tempat seperti apa yang Sel maksud. Jika aku bertanya kepadanya, tentu dia akan menjawab tidak tahu.
“Bala mengatakan kalau Zein akan datang ke sana.”
“Ke sana?”
“Ya, ke pesta … aku tidak tahu pesta seperti apa. Dia hanya mengatakan bahwa kamu bisa bertemu dengan Zein di sana.”
“Pesta?”
“Iya. Pesta.”
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Bertanya-tanya pesta seperti apa yang dimaksud Sel. Barangkali itu pesta pernikahanmu. Jika memang demikian, maka aku akan membuatnya menjadi pestaku juga. Pesta kita.
***
Kenangan demi kenangan kembali menerobos masuk saat gelap menyelimuti ruangan tempatku bersembunyi. Aku yang duduk sambil menekuk kedua kaki memilih menggeser pantat, mundur sedikit demi sedikit, berusaha menenggelamkan diri pada gelap yang lebih.
Sunyi. Setelah suara serak tak bersemangat itu mengucapkan sepatah kata disusul helaan napas berat, tidak ada apa pun lagi yang terdengar. Barulah di suara cekcekan cicak yang kelima puluh, cangkir berdenting terketuk-ketuk sendok, aroma kopi menyeruak memenuhi seisi ruangan.
Tidak ada yang terjadi. Tidak ada. Aku memantrai diriku sendiri dengan sebuah omong kosong. Menatap cermin di sudut ruangan yang bersinar ketika seekor kunang-kunang keluar dari dalamnya. Di cermin itu, aku bisa melihat Ayah, melihat Ibu, juga melihat cangkir yang berkeringat sedang kopi hitam di dalamnya tampak bosan mengepulkan uap.
Aku bangkit, menghampiri cermin dengan gigi yang bergemerutuk. Menatap lurus ke depan. Melihat semua kelapukan yang dipoles agar terlihat masih bagus. Berharap kalau apa yang tampak di cermin bukanlah serupa potret di mana orang-orang diam dan bisu seperti mati. Akan ada salah satu dari orangtuaku yang berteriak, memaki, melempar cangkir yang isinya tak lagi mau mengepulkan uap. Lantas keributan besar terjadi dan memorak-porandakan seisi rumah. Namun sampai lelah kakiku berdiri di depan cermin, mengamati semuanya, orangtuaku masih tetap dengan posisinya yang semula: duduk berhadapan, kepala tertunduk dan pandangan berpusat pada cangkir kopi hitam di meja makan.
Sedikit geram, kumasukkan tangan ke cermin, menarik kerah baju Ayah dan mengeluarkan pria itu agar berada tepat di hadapanku.
“Peony,” ucap Ayah dengan suara serak khasnya.
Aku terdiam agak lama memandangi wajah Ayah. Tidak tahu harus mengatakan atau melakukan apa kepadanya. Saat ini, aku hanya ingin Ayah lenyap dari padanganku, jika bisa lenyap dari kehidupan ini.
“Py.” Kali ini Ayah memegang bahuku, menatap kedua mataku dengan tatapan mengiba.
Suara cekcekan cicak tak lagi terdengar, Ibu masih duduk di tempatnya, memandangi cangkir berisi kopi hitam, sedang kunang-kunang terbang mengitari tubuhku. Aku tak lagi memandangi wajah Ayah, memilih mengambil pisau lipat dari dalam saku dan menancapkannya berkali-kali ke dada Ayah.
“Py, apa yang kamu lakukan?” tanyanya sebelum menjadi asap yang membubung menyentuh langit-langit.
***
“Py … apa yang sudah kamu lakukan?”
Aku bangkit, menatap Sel bingung. Memangnya apa yang kulakukan? Dia jelas tahu kalau aku sedang tidur nyenyak sebelum akhirnya terbangun karena dia yang mengguncang-guncangkan tubuhku lalu melempari pertanyaan yang tak dapat aku mengerti.
“Tanganmu … ada apa sebenarnya, Py?”
Melihat wajah Sel yang ketakutan, aku langsung memeriksa kedua tanganku. Darah. Bagaimana bisa … darah ini …?
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
Aku menggeleng. “Entah.”
“Entah?”
“Aku baru saja bangun, Sel. Kamu yang membangunkanku barusan.”
“Sebelumnya?”
“Sebelumnya?”
“Sebelum kamu tidur. Apa yang kamu lakukan?”
“Aku tidak melakukan apa-apa.”
“Py ….”
“Sungguh, aku tidak melakukan sesuatu selain menatap ponselku dan menunggu kabar Zein.”
Sel menatap lekat kedua mataku. Dengan mulut yang terbuka dan terkatup beberapa kali seolah sedang mengucapkan sesuatu yang tak bisa aku dengar, dia mengangkat tangan kanannya lalu menutup mataku.
“Bagaimana bisa?” tanyanya.
“Apa apa, Sel?” Aku balik bertanya sambil menyingkirkan tangannya yang menutupi mataku.
“Jangan pergi, Py. Sungguh, jangan pergi.”
Aku mengernyitkan kening mendengar ucapan Sel barusan. Kemarin lusa, saat aku menyetujui akan menerima risiko apa pun agar bisa bertemu denganmu, dia bilang akan meminta bantuan kepada salah satu temannya. Namun sekarang, tiba-tiba dia melarangku agar tidak pergi ke suatu tempat entah yang kami belum tahu di mana aku dapat bertemu denganmu.
Aku menggeleng. Tidak menyetujui larangan Sel. “Aku harus bertemu dengannya.”
“Bocah itu mengucapkan sebuah kebenaran tentang masa depanmu, Py.”
“Dia memang harus mengucapkan kebenaran dan kebenaran itulah yang aku inginkan.”
Sel melayangkan tangannya dengan keras tepat ke pipiku. “Kamu gila?”
“Ayahku harus mati, Sel! Dia harus mati!” teriakku.
“Bukankah kamu sudah membunuhnya?”
“Setiap malam aku membunuhnya. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali. Aku membunuhnya selagi ada kesempatan. Tapi sialnya dia tidak pernah mati.”
Sel membalikkan badan, duduk di sampingku.
“Jadi karena itu kamu rela menanggung segala risiko untuk bertemu Zein, termasuk jika itu berarti kamu harus kehilangan nyawamu?”
“Zein adalah kesempatan terakhir agar ayahku bisa mati.”
“Pikirkanlah lagi, Py. Kamu masih punya kesempatan untuk mengubahnya sekarang.”
Aku menunduk, menatap kedua tanganku yang berlumur darah. “Tidak. Aku sudah memikirkannya baik-baik dan ini keputusan yang tidak akan aku ubah, Sel.”
“Apa Zein akan setuju jika tahu kalau kamu memintanya menikahimu demi kematian ayahmu?”
Aku menghela napas, mengusir sesak yang menguasai dadaku. Bertanya-tanya apa kamu sudah tahu tentang ramalan bocah berkaus gombrang itu. Apa ramalan itu akan terjadi seandainya aku menikah denganmu. Bagaimana reaksimu seandainya kamu benar tahu tentang ramalan itu sedang aku bersikukuh mengajakmu menikah.
Ada terlalu banyak pertanyaan yang berseliwer di pikiranku. Tentangmu. Tentang ramalan itu. Tentang ayahku. Bahkan hingga kini, saat aku menatap selembar kertas berwarna hitam yang berisi peta menuju ke suatu tempat di mana aku bisa bertemu denganmu, segalanya masih tampak rumit.
“Ada harga yang harus kamu bayar untuk itu, Py,” itulah yang Sel ucapkan saat aku tetap pada pendirianku untuk bertemu denganmu.
Bersambung ….
Jakarta, 30 Juni 2018
Halimah Banani atau Lily Rosella. Merupakan salah satu penulis antologi Amour de Pase (Hazerain Publisher), Perempuan dalam Lukisan (Rumah Imaji), Ukiran Nafas (Rumah Fiksi), Karnaval Kesedihan di Kota Sendu (FAM Publishing), dll.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata