Haida Sakamoto dan Sebaris Kata di Permukaan Meja
Oleh : Devin Elysia Dhywinanda
Dalam berbagai pergantian warna di Prefektur Gunma, Haida Sakamoto selalu menyempatkan diri untuk bercerita, entah pada Ryou Hanamura atau angin dingin khas prefektur mereka, bahwa dia gemar menuliskan beberapa hal di permukaan mejanya, entah itu berupa nama atau umpatan pada pelajaran seni. Kegemaran yang aneh, memang—Haida kerap dikenai sanksi akibat kebiasaan tersebut, tetapi dia terlampau bebal dan abai sampai-sampai guru-guru pun lambat laun menyerah. Pertama kali mendengarnya, Ryou pun beranggapan bahwa hal itu sangat konyol serta kekanakan. Akan tetapi, perkataan Haida selanjutnya menjadi sesuatu yang membekas, bahkan setelah kabar kematiannya datang tiga tahun kemudian.
“Walau hanya sesaat, aku ingin seseorang yang menempati meja itu kelak mengetahui bahwa Haida Sakamoto pernah hidup dan ada di sini, meski tidak bisa disandingkan dengan tokoh lain dari prefektur kita. Aku ingin namaku dikenang, entah itu sebagai kekonyolan atau kebodohan, oleh segelintir orang di dunia ini.”
Haida mengungkapkannya dengan nada riang, seperti biasa, dan Ryou sekadar membalas, “Itu gejala narsisme sosial.”
Haida mencibir. “Memang sudah dasarnya kita sesentris itu, ‘kan?”
“Kau menyamaratakan setiap orang.”
“Begitu juga dirimu. Toh, generalisasi sudah jadi hal umum untuk mengklasifikasi kehidupan.”
Percakapan itu terjadi dalam perjalanan menuju Kuil Akagi, tiga bulan setelah kepindahan Ryou dari Prefektur Saga ke Maebashi, ibu kota Prefektur Gunma. Ada banyak hal berubah dalam waktu singkat dan, kendati bersikap acuh tidak acuh, Ryou sendiri tidak menyangka dapat melebur secara harmonis dengan karakter Haida, merunut impresi pertamanya tidak terlalu bagus. Di mata Ryou, teman sebangkunya itu sekadar pemuda mungil serta pasif yang masuk golongan terasing di kelas mereka.
Ryou ingat, perubahan kontras tersebut terjadi usai mereka bertemu di atap sekolah dan bercakap-cakap perihal hubungan antarmanusia. Haida adalah idealis alami yang proporsi pemikiran abstrak serta logikanya cukup seimbang, sedangkan Ryou serupa dengan anak maniak pelajaran yang diam-diam observatif. Mereka cocok dalam beberapa hal dan mengakhiri jam istirahat dengan membahas hal-hal filosofis.
Esoknya, sikap Haida berubah menyerupai anjing kecil yang keranjingan bertemu pemilik barunya. Ryou—yang saat itu berkacamata dan masih berambut gondrong—punya dialek yang sukar dipahami masyarakat Kanto[1] dan Haida dengan bersemangat membenarkan pengucapan Ryou agar, seperti katanya, Dapat diterima serta tidak kesulitan menjalani kehidupan perkuliahan di Tokyo. Pemuda berwajah tirus itu juga tidak henti menceritakan banyak hal: keseharian orang-orang Maebashi, kebijakan pemerintah untuk menunjang pariwisata prefektur mereka, bahkan udara dingin yang amat kontras dengan iklim daerah Kanto. Kala itu, murid-murid tengah terfokus untuk berkoalisi serta berkompetisi dalam Senta Shiken[2] dan Ryou berpikir sikap Haida terlalu berlebihan untuknya yang baru pindah di akhir semester sekolah.
Ryou tidak berkomentar banyak, tentu, sebab sudah sifatnya untuk tidak mencampuri urusan serta pilihan orang lain. Namun, ketika mengajak Haida belajar di Gunmaken Public Library, menyadari betapa cerahnya roman wajah Haida serta ketulusan saat pemuda bermata jernih itu menyebutnya sebagai sahabat, Ryou akhirnya sampai pada satu kesimpulan: tidak ada yang salah dengan sikap teman sebangkunya tersebut, sebab kesepian serupa racun yang menggerogoti jiwa manusia. Tidak terkecuali Haida.
Dalam kunjungan ketiga mereka di Kuil Akagi, Haida pernah bercerita, “Aku pernah berkata bahwa tujuanku menuliskan namaku sendiri di atas meja adalah agar aku dikenang oleh penghuni meja selanjutnya, ‘kan? Jujur, itu murni dari ketakutanku selama ini. Aku anak yatim piatu. Gagal dalam kehidupan sosial. Tapi, dunia dapat bergerak luwes bahkan meski aku dihapus dari tempat ini. Mengerikan sekali … bagaimana kau merasa amat kerdil dan tidak berdaya bila dihadapkan oleh semesta.”
Ryou ingat, kala itu dia merasakan hal serupa dengan saat pertama bertemu Haida: hawa muram, terisolir, serta kesepian. Bahkan, kali ini lebih parah. Akan tetapi, Ryou diam, menahan berkomentar, untuk mendengar pertanyaan retoris yang sahabatnya ucapkan kemudian, “Aku tidak punya siapa-siapa, tapi pada satu titik aku takut dilupakan. Lucu sekali, ya?”
“Generalisasi sudah jadi hal umum untuk mengklasifikasikan kehidupan,” Ryou mengulang sanggahan Haida beberapa waktu silam, “jadi, tidak ada yang lucu dari perasaan seperti itu. Orang-orang takut dilupakan. Itulah faktanya.”
Hidung Haida memerah, entah karena hawa dingin atau hal lain, ketika dia tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi tidak teraturnya. “Kau betulan sahabat terbaikku, sumpah!”
Itu adalah kunjungan terakhir Ryou bersama Haida ke Kuil Akagi. Dua hari menjelang Senta Shiken, nomor Haida tidak dapat dihubungi sehingga Ryou mesti berkunjung ke kuil sendiri. Namun, begitu nyaris mencapai ujung undakan, dia melihat Haida yang bertengkar dengan seorang pria dewasa. Mereka tidak bercakap-cakap—Haida, yang tidak sengaja bersitatap dengannya, langsung gemetar, kemudian lari. Hilang, tidak dapat dihubungi, atau memang enggan dihubungi … sampai tiga tahun berlalu.
*
Dulu, Ryou sempat berpikir: kenapa orang seperti Haida bisa dikucilkan seperti itu? Kendati hanya berteman sebentar, Ryou bisa menebak bahwa Haida adalah tipe bocah kelebihan energi positif—yang untungnya punya otak encer—dan dapat membaur dengan mudah. Atas dasar itu, kenapa dulu Haida dijauhi oleh teman sekelas mereka? Karena khawatir dengan hukum rimba? Atau, karena statusnya sebagai anak yatim piatu?
Pertanyaan itu tidak selalu muncul, tetapi sedikit-banyak mengusiknya, terlebih bila Ryou menyempatkan untuk ke Maebashi setiap liburan musim panas. Ryou sendiri berusaha mengabaikannya, seperti membilas kotoran sampai sempurna bersih, tapi penjelasan Kana Yuuji, mantan teman sekelasnya yang bekerja paruh waktu di kafe dekat Universitas Tokyo, tempatnya melanjutkan pendidikan, perlahan menguak sisi tersembunyi Haida.
“Kau tidak tahu? Sakamoto itu bi.”
Ryou Hanamura terdiam.
Dunia seketika stagnan pada satu waktu.
Kana Yuuji, yang wajahnya langsung bersemu merah ketika Ryou pertama kali memesan espresso—Ryou sudah memakai lensa kontak dan mengubah gaya rambut, omong-omong—dan selalu memasang wajah ceria setiap pemuda bermata tajam itu berkunjung ke tempat kerjanya langsung berkata, “Ku-kupikir kau tahu, karena, yah, kalian sangat dekat, ‘kan? Tapi, kalau reaksimu seperti itu … apa yang harus kukatakan, ya? Ada banyak rumor buruk berkembang saat sekolah dan aku harus meminta maaf untuk itu.”
Ryou tidak dapat mendengar dengan jelas. Dia hanya menangkap suara Kana yang bersemangat menawarinya masuk ke grup angkatan.
Kala itu, fokusnya tertuju pada sekian ingatannya dua tahun lampau: pertanyaan, kisah tentang sebaris kata-kata di meja Haida, serta pertemuan terakhir mereka di Kuil Akagi. Ada sekian penolakan muncul bersamaan dengan dia yang bersikeras menemukan pangkal kelogisan semua fakta tersebut. Sampai akhirnya Ryou menemukan titik netral atas semua benang yang ada, dia seketika teringat salah satu kata yang tertulis di permukaan meja teman sebangkunya: maaf.
“Tapi Hanamura, kau tidak berkomunikasi lagi dengan Sakamoto, ‘kan? Kudengar dia berada di lingkungan yang … buruk.”
Ryou tertawa sarkastis. “Kau khawatir pada orang yang salah, Yuuji-san.”
*
Kabar kematian Haida datang usai liburan musim panas, ketika Ryou berada di tahun ketiga jurusan Teknik Struktur Bangunan. Grup kelasnya seketika riuh, terutama setelah mengetahui Haida ditemukan mati bunuh diri di kawasan apartemen kumuh Yokohama. Beberapa spekulasi berkembang: dia yang terlibat masalah besar dengan pacarnya, kemudian memutuskan mengakhiri hidup; dia yang kena HIV dan memilih pergi membawa segudang keputusasaan; dia yang bunuh diri karena kesepian. Kian lama, pembicaraan berkembang ke alasan penyimpangan Haida: tidak adanya orang tua; lingkungan yang salah; kurangnya pasokan iman, dan sebagainya. Ryou sendiri mati rasa—dia membaca sekian spekulasi bodoh itu, lantas membalas salah satu komentar bernada sok tahu di sana: Haida rajin pergi ke Akagi. Lebih banyak dari apa yang mesti dilakukan orang lain.
Yah, memang sudah kodrat manusia untuk menyusun sekian informasi, membuat konklusi sendiri yang disebarkan, kemudian dipercayai orang-orang. Namun, kalau dipikir betul-betul, sebenarnya Ryou pun tidak jauh berbeda dengan orang-orang cerewet itu: menghubungkan segala benang, menerka status Haida yang tanpa orangtua serta beberapa faktor lain yang membentuknya jadi seperti itu. Hanya, pendapat Ryou lebih manusiawi dan bersahabat lantaran menganggap pilihan Haida sebagai efek domino, sesuatu yang lebih kompleks dan mengaitkan sekian orang sebagai terdakwa … tidak terkecuali seorang Ryou Hanamura.
“Waktu itu, mungkin saja dia menganggapku telah mengetahui semuanya, karena itu dia pergi. Seperti katanya, dia takut untuk bertanya, takut untuk mengorek lebih dalam, takut untuk jujur. Takut untuk dilupakan,” kata Ryou setelah berhasil mengendalikan dirinya sendiri.
Ryou kembali ke Maebashi dua hari kemudian, setelah menyelesaikan beberapa tugas mahasiswa semester tiga, sebab abu kremasi Haida dikembalikan ke kampung halamannya. Di tempat penyimpanan abu pun Ryou tidak berbicara hal-hal melankolis, hanya mengulang beberapa teori filsafat tentang paradoks kehidupan serta mimpi, seraya mengatakan bahwa, barangkali, Haida akan bangun dalam kesadaran baru, kemudian menganggap kehidupan sunyinya selama dua puluh satu tahun telah berakhir menjadi bunga tidur.
“Manusia selalu berspekulasi. Ya, ‘kan?”
Setelah itu, Ryou mampir ke sekolah lamanya. Entah untuk apa. Dia hanya berjalan, menyeberangi lapangan olahraga, menyusuri lorong yang lengang, kemudian sampai pada ruang kelasnya—yang tidak berubah banyak dari ingatan terakhirnya. Beberapa meja-kursi telah diubah, sepertinya, tapi dia lekas pergi ke bangku tengah—tempat duduknya dan Haida—kemudian membaca sekian kalimat yang, untungnya, masih ada di sana.
Haida cukup bijaksana dengan tidak sepenuhnya mengotori infrastruktur sekolah. Kata-katanya singkat, tetapi menyimpan banyak makna. Kebanyakan punya makna jelek, sayangnya.
Ryou hendak beranjak dari tempat itu ketika dia menemukan sebaris kata-kata di kolong mejanya. Kata-kata yang sepertinya dituliskan Haida sebelum Ryou pindah ke Maebashi. Kalimat yang mengatakan: Hai, aku Haida Sakamoto, dan aku kesepian.
*
Setelah berdiam cukup lama di kelas lamanya, menimbang-nimbang apakah dia mesti membiarkan atau menghapus kalimat menyedihkan itu, Ryou Hanamura memutuskan untuk tidak merusak jejak peninggalan teman sebangkunya—seperti kata Haida Sakamoto: biarkan segelintir orang membaca, mengetahui bahwa dia ada, meski membawa segudang luka—dan beranjak dari sana.
Musim semi. Sebelumnya adalah musim dingin. Tiga tahun dari waktu itu adalah kali terakhir Ryou bercakap-cakap dengan Haida.
“Kau adalah sahabat terbaikku, sumpah!”
Mereka adalah teman sebangku, bahkan sahabat, barangkali, seperti yang diucapkan Haida di kala itu. Kendati demikian, Ryou menyadari bahwa mereka tidak sedekat itu, bahwa pada akhirnya dia hanya seseorang yang punya secuil informasi lebih banyak dari orang-orang sok tahu lain, lantas membikin spekulasi berbeda atas dasar hal tersebut. Menyadarinya membuat Ryou bertanya-tanya sambil melihat langit kelabu, apakah semua akan berakhir lebih baik bila dia mau sedikit ikut campur dan berusaha mencari tahu latar belakang Haida? Apa dia bisa membikin revolusi, katakanlah, bila mendapat potongan puzzle lebih banyak sehingga dia dapat menerangkan sisi positif mantan kawan sebangkunya itu?
Angin dingin musim semi berembus dan Ryou menyadari bahwa itulah batas yang telah Haida bentuk sekaligus pilihan yang tidak dapat diutak-atik sekalipun olehnya, sebab pada dasarnya semua ‘nilai’ yang dicanangkan seseorang adalah spekulasi. Tidak ada yang sebenar-benarnya mengerti hati seseorang kecuali dirinya sendiri. Bahkan, hubungan yang kelihatan amat sempurna pun pasti memiliki celah ketidaktahuan. Sebuah titik buta atas kedinamisan interaksi manusia.
Ryou menghela napas. Berdoa.
Memang sebegitu biasnya hubungan antarmanusia. (*)
[1] Wilayah geografis di Pulau Honshu, Jepang, yang mencakup Prefektur Gunma, Tochigi, Ibaraki, Saitama, Tokyo, Chiba, dan Kanagawa.
[2] Sebutan untuk ujian masuk universitas di Jepang.
Devin Elysia Dhywinanda merupakan gadis hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata