The Blue Eyes Man (Episode 8)
Oleh: Eda Erfauzan
Suara sang Ibu memecahkan perhatian Roe dan itu dimanfaatkan Aurora dengan cepat. Tubuh Lily kini kembali dalam kendalinya.
“Ingat Roe, hanya tiga tetes pertama darah gadis ini yang kau butuhkan.” Aurora menelusuri lengan Lily dengan ujung kukunya yang runcing dan berkilat.
“Tiga tetes yang harus ditampung dalam mangkuk kristal berlambang kerajaanmu. Apakah kau membawanya sebelum membantai pasukan ayahku?” Aurora menatap Roe, bibirnya membentuk senyum mengejek.
“Lihat!” Dengan geram ia menusukkan satu jarinya lalu mengangkat lengan Lily hingga darah yang menetes dari jari gadis itu terlihat jelas.
“Hanya tiga tetes dan kehidupan akan meninggalkannya. Bye bye Roe sayang!” Tawanya pun melengking, menyakitkan telinga.
Lily memiringkan kepala ketika sesuatu yang tajam menusuk ujung jarinya, perih. Lily merasa darahnya terisap, cahaya gemerlap bunga lili di dadanya meredup, wajahnya semakin pucat. Sia-sia ia melawan sesuatu yang mencoba menarik segenap daya hidup dalam tubuhnya.
Roe mendesis marah, mata birunya yang cemerlang kian berwarna gelap. Kemarahan nyaris membakarnya.
Beberapa senti sebelum tetesan darah Lily menyentuh tanah, sebuah benda berkilau melayang untuk menampungnya diikuti kelebat warna putih, hijau dan kuning.
“Ibu!” Roe mendongak.
Ratu Violina datang bersama Jan dan Ken.
Belum sempat mencerna apa yang terjadi, Aurora merasa tubuhnya panas, terbakar tetapi tak ada api, hanya sayapnya terkulai layu seperti daun akan gugur. Suara lengking itu, teriakan kesakitan, oh tidak! Aurora ingin berteriak dan menyerbu ketika melihat Jan mencabut pedangnya dari kepala naga, hewan kesayangan sekaligus kendaraannya. Tetapi tubuhnya seakan terikat kuat, tak mampu digerakkan. Aurora merasa lemah, sihirnya, kekuatannya seperti menguap. Ia terduduk dengan wajah merah. Tatapannya terarah pada Jan, tajam, berkilat dan penuh dendam.
Aurora merasa tubuhnya kembali panas, seperti dikelilingi bara api. Tak percaya dengan apa yang terjadi, gadis itu menggerakkan tangan tetapi rasa panas itu ternyata telah melumpuhkannya.
Ia terduduk, menatap pemandangan di depannya dengan marah. Jan sedang membersihkan pedang dari noda darah naganya, Ken tengah meletakkan Lily dengan hati-hati, dan perempuan anggun itu, Ratu Violin, memegang mangkuk kristal berlambang kerajaan Vasquamatra. Bagaimana mereka bisa ada di sini, menyerangnya? Dan Roe, di mana dia?
“Mencari aku?”
Aurora memutar badannya dengan susah payah, kekuatannya benar-benar hilang. Merasa tak berdaya dia mulai merintih, memanggil ayahnya.
Roe berdiri gagah, mata birunya segelap dasar samudra. Aurora menggigil saat pandangan mereka bertemu. Setelah diselubungi rasa panas yang seolah membakar dan menghilangkan segenap kekuatannya, tatapan dingin Roe seperti pasak-pasak es yang dilemparkan, membuat Aurora merapuh, bagai gelas panas diisi es, pecah.
“Dengar Putri Yosdas, aku tak pernah mengkhianati siapa pun. Aku dan Lily terikat oleh Mightiness of Blue sejak ratusan tahun. Jika bukan karena tipu daya ayahmu, kau tak akan pernah hadir dalam hidupku!”
Suara itu seperti bergema, memantul berulang kali di kepala Aurora. Mightiness of Blue, bersatunya para penjaga semesta ketika pangeran bermata biru lahir dari klan kerajaan Vasquamatra dan putri klan kerajaan Armarilis yang kelahirannya terberkati dengan munculnya bunga lili berputik dan tepi kelopak berwarna biru. Ketentuan yang telah tertulis ratusan tahun dan coba dikacaukan ayahnya yang haus kekuasaan.
Menatap Roe yang berjongkok di samping Lily, menyibak rambut yang menutupi sebagian wajahnya dengan lembut, mengangkat dan menggendongnya dengan penuh sayang, Aurora seperti disengat. Ingatannya terbuka, sosok Roe yang pernah bersamanya … itu bukan pangeran … mereka hanya mirip, lalu siapa? Siapa yang bisa melakukannya? Menghadirkan sosok Pangeran Vasquamatra yang lain dan membuatnya jatuh cinta.
Satu nama dan wajah berkelebat. Aurora makin terpuruk. Nama dan wajah yang selalu berkata, “Gunakan otakmu, bukan hatimu!” Ia mendesah pilu. Bahkan saat putrinya tak berdaya laki-laki itu pun tak datang untuk menolongnya. Tak ada yang lebih penting bagi ayahnya selain kekuasaan.
Para pangeran telah pergi. Tinggallah Aurora sendiri dalam senja yang mulai berganti warna ditemani badan binatang kesayangan yang tak lagi berguna. Sendiri, ditinggalkan, tak berdaya dan merasa hampa. Kosong.
***
Aroma harum bunga lili menguar manis. Sang ratu telah meneteskan darah Lily pada putik bunga yang semua kelopaknya berwarna cokelat, oh masih ada satu kelopak yang ujungnya berwarna putih kekuningan.
Satu, dua, tiga … ya, tiga tetes jatuh membasahi putik berwarna biru. Berpasang mata menatap cemas.
Akan kembalikah kehidupan Raja Cloe? Bagaimana dengan Lily?
Bersambung ….
Eda Suhaedah/Eda Erfauzan, gemar membaca dan hingga kini masih menyukai dongeng-dongeng klasik dunia. Mulai menulis di buku harian sejak SMP dan masih terus belajar untuk menghasilkan karya yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata