28
Oleh: Dyah Diputri
Aku agak kesiangan. Sial! Padahal banyak yang harus kukerjakan hari ini. Setelah mandi, aku bergegas turun dan memanggil sopirku.
“Nyonya, ini belum terlalu siang. Apa tidak sarapan dahulu?” tanya Dion, bodyguard utusan suamiku yang selalu mengekor dan sedikit mengatur jadwal harianku.
“Tidak, Dion. Aku harus segera pergi. Kau tak lupa, kan? Besok hari ulang tahun George, suamiku. Dia akan pulang dan aku ingin memberinya surprise,” ujarku sembari menaiki mobil. Selanjutnya menitahkan sopirku agar segera menjalankan mobil sebelum Dion ikut membuntut.
“Tapi, Nyonya—”
“Dion, hari ini kau tak perlu menceramahiku. Kau ingat tugasmu? Kuharap kau tak lupa membagikan undangan pesta yang kemarin kuberikan padamu.”
Mobil melesat menuju sebuah pusat perbelanjaan. Aku masuk ke sebuah toko aksesoris. Memberi segala macam keperluan pesta. Balon, topi, pita, dan segala pernik lainnya.
“Kalau ada yang terlewat, tolong ambilkan! Semua yang terbaik. Semahal apa pun, pasti kubayar,” pesanku kepada seorang pramuniaga yang melayaniku.
Setelah itu, aku menuju supermarket. Sopir setiaku mendorong stroller di belakangku, sedang aku belanja cukup banyak salmon, tuna, beef, sayur-mayur, dan buah-buahan.
“Apa tidak terlalu banyak, Nyonya?” sopirku mengingatkan. Tahu-tahu, belanjaanku sudah hampir memenuhi stroller.
“No! Ini belum semuanya. Undangan cukup banyak, Bas. Aku ingin pesta ini meriah, tak kurang satu apa pun.” Aku berdecak.
Hampir setengah hari aku berkeliling untuk belanja. Lelah, pasti. Tak mengapa. Kulakukan semua demi suamiku senang.
Sampai di rumah pun aku langsung bergulat di dapur. Dengan tangan ini sendiri aku membuat sebuah cake ulang tahun yang cantik.Kue, cemilan, dessert. Semuanya kusiapkan dengan teliti.
“Nyonya, makanlah dulu. Bas bilang, Nyonya tak makan sedari pagi. Nanti Anda bisa sakit,” Marie menegurku. Ah, kurasa ia sedang cemburu karena hari ini aku menguasai dapurnya. Ha-ha.
“Baiklah, Marie. Aku akan makan. Tapi, kumohon bantu aku. Kau urus daging-daging ini, lalu suruh Dion dan yang lain menghias rumah malam ini juga!” Aku mencuci tangan dan berjalan ke meja makan. “Oh, Marie. Kurasa aku lelah.”
“Anda harus beristirahat setelah ini!Jangan memaksakan diri,” ujar Marie seraya menyiapkan semangkuk sup asparagus dan onion bread untukku.
“Yah, kurasa kau benar. Aku tidak boleh mem-forsir tenagaku. Harus kusimpan untuk acara besok.”
Marie hanya menatapku iba. Setelah makan sedikit hidangan itu, aku beristirahat di kamar. Sambil merebah aku memandang foto George yang terpajang di dinding kamar yang terbalut wallpaper motif bunga bewarna keemasan.
“Oh, George. Aku merindukanmu,” lirihku.
Keesokan harinya semua telah benar-benar siap. Sejak sore aku berdandan secantik dan seelegan mungkin agar nantinya bisa terlihat memukau di depan para tamu dan khususnya di hadapan suamiku. Sebuah dress hitam berleher V tanpa lengan membalut tubuh sintalku. Sepatu high-heels bewarna putih pemberian George kukeluarkan dari rak sepatu. Sekali lagi, aku menatap wajahku di cermin. Kuharap malam ini priaku tak komplain mengenai rambut pirangku yang tersanggul rapi. Biasanya ia lebih suka rambutku tergerai.
Para tamu mulai berdatangan. Sebagian dari mereka membawa kado untuk suamiku, padahal aku telah melarangnya untuk membawa apa pun.
“Silakan, nikmati pesta ini. Makan dan minumlah, Teman. Kita akan menanti George bersama-sama.
“Nyonya. Apa Tuan akan datang?” Dion berbisik padaku. Membuatku sedikit cemas.
“Ya. Pasti. Dia akan datang,” bisikku. Entah mengapa, darahku berdesir hebat. Keringat mengalir di pelipis,takut kalau semua akan berantakan.
Lama kami menunggu, namun George tak kunjung datang. Mendadak aku dibuat pusing karena para tamu mulai mengerumuniku, ingin berpamitan.
“Oh, tidak! Kumohon, tunggulah barang sebentar! Sebentar lagi ia pasti—” Kalimatku terhenti begitu melihat George. Ia berdiri di depan pintu. Mengenakan kemeja dan celana bewarna hitam sepertiku. Sudah kuduga. Dari jauh, ia tersenyum dan melambaikan tangan. Manis sekali.
“Oh, George! Akhirnya kau datang!” seruku sambil berlari kecil ke arahnya. Semua mata kini tertuju kepada kami berdua.
Kugiring suamiku ke tengah acara. Dengan mulut ini pula aku mengendalikan acara pesta. Kuajak mereka semua menyanyikan lagu ulang tahun untuknya.
Aku mundur dan mengambil kue tart. Menyajikannya di depan George dengan senyum tulus. Dua lilin berbentuk angka 2 dan 8 yang menyala berdiri tegak di tengah kue itu.
“Buat permintaan dan tiuplah, Sayang.”
George menggeleng. “Kau saja, Ailen.”
Baiklah, aku selalu menuruti perintahnya. Dalam hati aku merapal doa agar senantiasa bersama dengannya. Itu saja. Aku meniup lilin, memotongnya, dan membiarkan semua orang menikmati pesta.
George menarik jemariku agar naik ke lantai dua. Ke kamar kami. Tak bisa tidak. Aku begitu mencintainya.
“Aku mencintaimu, Ailen.” Dia memelukku. Setelah beberapa lama kami terpisah. Rindu ini akhirnya terbayar sudah.
“Aku tak mau jauh darimu. Bawa aku ke mana pun kau pergi, please!”
George tak menjawab. Sesaat kami berciuman, hangat sekali. Seolah benar-benar nyata. Aku memejamkan mata, berharap ciuman ini adalah kado terindah baginya.
Namun, saat aku membuka mata, ah … George telah pergi. Bayangannya menghilang seiring kesadaranku yang mulai kembali. Ya, aku tersadarkan bahwa George sudah meninggal dua tahun yang lalu. Rival bisnisnya menembak dahinya hingga darah segar mengaliri wajahnya yang tampan. George-ku meninggal di depan mataku sendiri.
Teng-teng!
Bunyi jam berdentang pukul dua belas malam. Tepat saat aku menyelesaikan pengetikan naskah ceritaku. Aku menutup laptop dan berjalan semringah ke meja makan.
“Happy birthday, Wen.” Aku mengucap selamat untuk diriku sendiri.
Di meja makan itu, aku meniup dua lilin berbentuk angka 2 dan 8 yang tertancap di tengah black forest. Sejak sore tadi aku menyiapkannya di meja makan. Kau tahu, bagi seorang single sepertiku, aku tak mau mengandai-andai ada orang lain yang akan mengejutkanku di hari ulang tahunku. Maka, seperti inilah rutinitasku saat ulang tahun. Membeli tart, menyimpannya di lemari pendingin semalaman, lalu sebelum dentang jam berbunyi sebab dua jarumnya berhimpitan di angka dua belas, aku menatanya di meja makan.
Setelah memotong sedikit kue dan melahapnya, aku kembali ke kamar. Merebahkan diri, melepas pegal di punggung karena terlalu lama duduk di depan laptop.
Sambil memejamkan mata aku berdoa dalam hati, “Semoga di usia 23 ini ….”
23.
23.
Angka itu berputar-putar di otakku. Apa yang salah? Tidak. Tidak ada. Detik ini usiaku masuk di angka 23.
Ah, tapi ….
Ada yang salah.
Aku terloncat dari tempat tidur dan berlari menuju meja makan.
Napasku memburu. Mataku membelalak, memandang kue tart di meja makan itu. Desau angin seakan-akan meraba tengkukku.
“Tidak! Tidak mungkin!” aku menjerit dalam hati.
Bagaimana mungkin? Aku ingat betul, aku membeli lilin berbentuk angka 2 dan 3, kemudian aku menancapkannya sendiri di kue itu saat menyajikan di meja. Lalu, mengapa tadi aku meniup lilin berbentuk angka 2 dan 8?(*)
Malang, 19 Desember 2018.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Akun Fb: Dyah Maya Diputri. Email: dyahdiputri@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata