Kejutan
Oleh: Cokelat
Aku memandang rangkaian bunga mawar putih yang dirangkai dan dihias cantik dalam sebuah buket. “Apakah ini bunga asli?” tanyaku seraya menunjuk buket mawar putih yang telah membuatku tertarik.
Pegawai toko bunga bergegas mendekatiku seraya mengangguk. “Iya, Pak. Itu asli. Kami baru saja selesai merangkainya.”
Aku membayar buket itu dan meninggalkan toko bunga sambil tersenyum. Sekarang waktunya membeli cokelat. Bunga dan cokelat adalah dua hal yang paling disukai perempuan, terutama perempuanku. Aku yakin, jika keduanya kusodorkan pada Riana, dia tak akan mampu menolaknya. Riana pasti akan melupakan pertengkaran kami hari Kamis yang lalu.
“Ayolah, Beb. Pulanglah akhir pekan ini. Aku benar-benar kangen.” Suara merdu Riana yang membujukku saat itu sungguh membuatku ingin segera terbang dan bertemu dengannya.
“Tidak bisa, Ri. Divisi kami harus lembur hari Sabtu dan Minggu ini. Penawaran kontrak paling lambat harus masuk hari Senin depan. Kalau semua beres, aku nggak perlu nunggu week end untuk pulang. Aku langsung pulang hari Selasa, biar kita bisa segera ketemu. Kamu bisa ngerti ‘kan, Sayang?”
Hening, tidak ada jawaban dari seberang.
“Ri? Riana? Jawab, Sayang. Kamu jangan gitu, dong.”
Tiba-tiba terdengar isakan pelan dari ponselku. Aku memijat pelipis untuk sedikit meredakan kepala yang mendadak pening. Sifat manja Riana tak pernah berubah sejak kami masih sama-sama di bangku kuliah. Akan tetapi, bukankah itu yang membuatku semakin tergila-gila dan tak pernah bisa pergi jauh darinya? Aku menghela napas panjang. Hubungan jarak jauh ini sungguh menyiksa.
“Ri? Aku janji, minggu depan aku pasti pulang. Tunggu aku, ya.”
Riana memutuskan sambungan telepon tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sejak hari itu, Riana tak pernah menjawab telepon dariku. Pesan yang aku kirim pun hanya dibaca dan tak pernah dibalas. Sepertinya dia benar-benar kesal.
Semenjak perusahaan memindahkanku ke kantor cabang di kota lain, ini kali ketiga Riana marah karena aku tak bisa pulang saat akhir pekan. Namun aku yakin, seperti yang sudah-sudah, Riana tak akan mampu menolak permintaan maaf dariku. Malah hubungan kami semakin mesra setiap kali kami baikan setelah berantem. Bukan aku saja yang tak bisa berpisah darinya, perempuan itu juga tak akan pernah bisa melepaskanku. Aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang akan terjadi nanti saat kami bertemu.
Aku menyetir membelah keramaian kota sambil sesekali melirik buket bunga dan sekotak cokelat buatan Swiss yang kuletakkan di jok samping pengemudi. Aku sungguh tak sabar ingin segera bertemu Riana.
Membawanya ke pelukanku, saling melepas rindu lalu membisikkan kata-kata cinta seperti yang selalu kulakukan padanya. Sabar, Sayang. Aku akan segera tiba.
Kemacetan lalu lintas pagi ini benar-benar membuat emosi. Keliatannya semua orang ingin cepat-cepat sampai di tujuan mereka masing-masing. Asap kendaraan berbaur dengan debu jalanan. Suara klakson yang memekakkan telinga terdengar dari segala arah.
Saat akhirnya aku memarkir mobil di belakang mobil Riana, matahari sudah tepat di atas kepala. Aku berputar melewati halaman samping untuk masuk dari pintu belakang. Bukan kejutan lagi namanya jika aku memencet bel untuk memberi tahu kedatanganku.
Aku menaiki dua anak tangga di teras belakang sambil memegang erat buket bunga dan cokelat untuk Riana. Saat melangkah masuk melewati pintu belakang yang terbuka lebar, aku membelalak. Tubuhku membeku melihat Riana yang sedang bercumbu mesra dengan seorang lelaki di atas sofa ruang televisi. Seketika buket bunga dan kotak cokelat terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai. Riana langsung menoleh dan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat menyadari kehadiranku.
Lelaki yang bersama dengan Riana di atas sofa ikut menoleh dan tersenyum ke arahku. Aku merasa seolah kakiku tak bertulang.
“Hai, Diq. Tumben kamu datang nggak kasih kabar dulu.” Lelaki itu bangkit dan berjalan ke arahku. Sementara Riana yang sibuk merapikan pakaiannya tampak salah tingkah.
“Wah, ini apaan? Bunga dan cokelat? Buat siapa?”
Berengsek! Tidak bisakah lelaki ini menutup mulutnya dan berhenti bertanya? Aku benar-benar belum bisa menguasai diri sepenuhnya karena terkejut. Bukannya ini jadwal dia terbang? Apa yang dilakukan pilot salah satu maskapai terkenal itu di rumah? Dan Riana, kenapa perempuan itu tak mengabariku? Sial! Sial!
“Oh, itu pasti dari Dewi, ya? Kami bertengkar kemarin. Pasti dia yang mengirim Didiq ke sini untuk minta maaf.” Riana menjawab cepat sambil menyebut nama istriku.
“Dasar wanita. Sebentar-sebentar bertengkar, sebentar-sebentar baikan. Yuk, Diq. Kita ngopi di teras belakang. Sayang, bawakan kami kopi dan camilan, ya?” Lelaki itu menepuk punggungku yang sedang membungkuk memungut bunga dan cokelat dari lantai lalu melangkah mendahuluiku ke teras belakang.
Aku meletakkan bunga dan cokelat ke atas meja sambil melihat dengan marah ke arah Riana. Perempuan itu menunduk, tampak tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Aku masih sangat kaget. Kupikir tadi aku akan mati karena terkejut. Bagaimana jika hubungan kami benar-benar ketahuan? Bagaimana jika keluarga besar kami sampai tahu hubungan terlarangku dengan istri dari saudara sepupuku sendiri? Aku pasti benar-benar akan mati.
Kamar Cokelat, 8 Agustus 2021
Cokelat, penulis yang masih terus belajar menulis.
Editor: Syifa Aimbine