23.59
Oleh : Vianda Alshafaq
Pukul 23.30, rumah itu masih ramai. Gelak tawa terdengar hingga ke halaman rumah, berbaur dengan suara daun-daun yang bertubrukan dan menyatu dengan desau angin—yang sesekali menerbangkan plastik-plastik sampah yang dibuang sembarangan. Irama lagu yang diputar sangat keras juga sampai ke luar. Berisik. Orang yang tak biasa dengan situasi seperti ini pasti sudah menggerutu sendiri. Untungnya, rumah ini cukup jauh dari kompleks perumahan warga. Sekitar lima ratus meter dari rumah terakhir, sebelum rumah ini.
Rumah minimalis satu lantai itu sudah ada sejak sepuluh tahun lalu. Meskipun demikian, bangunan bercat cokelat diselingi warna putih gading itu masih tampak kokoh. Sejak dua tahun silam, rumah ini dijadikan klub malam, yang kerap dihadiri wanita-wanita berbaju kurang bahan serta laki-laki yang mungkin sudah kehilangan akal.
Satu per satu manusia dalam rumah itu mulai keluar, pulang ke rumah masing-masing. Mereka berjalan sempoyongan dengan tubuh berbau alkohol yang sangat tajam. Beberapa dari mereka saling merangkul, sekadar bertahan agar tak tumbang dan terkapar di jalan.
Malam sudah semakin pekat. Bunyi-bunyi bambu—yang tumbuh di belakang rumah—semakin jelas. Bunyinya terdengar menakutkan ditambah dengan bunyi burung hantu yang entah kenapa terdengar semakin tajam, menusuk pendengaran. Lampu-lampu jalan yang tergantung di tonggak listrik, di beberapa titik, bergoyang-goyang tertiup angin.
Penghuni rumah itu semakin berkurang. Sudah lebih dari separuh pengunjungnya pulang ke rumah masing-masing. Meski begitu, di dalam sana masih terdengar gelak tawa. Mereka masih terbahak-bahak. Entah apa yang sedang mereka bicarakan hingga tertawa sedemikian keras.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.58. Masih belum juga hilang suara tawa dari dalam. Semenit kemudian, terdengar pekikan-pekikan seperti pekikan orang yang sedang ketakutan.
***
“Dena, kamu lihat Sean tidak? Sudah kutengok ke rumahnya, tapi rumahnya terlihat sepi seperti tak ada penghuni. Padahal ini masih jam tujuh pagi. Tidak mungkin dia sudah keluar setelah mabuk berat semalam.”
“Kamu yakin dia tidak ada di rumahnya, Ran?”
Ranu mengangguk yakin. Dia sudah memastikannya tadi. Dia bahkan sudah memeriksa rumah itu, yang kebetulan tidak dikunci.
“Aku juga belum melihatnya pagi ini. Apa mungkin dia masih di Rumah Cokelat? Dia semalam sepertinya masih di sana saat aku hendak pulang.”
“Kamu tidak pulang bersamanya?”
Dena menggeleng. Semalam dia memang mengajak Sean untuk pulang bersama—seperti biasa. Tapi Sean belum mau pulang. Dia masih ingin berjoget ria di tempat itu. Alhasil, Dena yang sudah mengantuk serta mabuk memilih untuk pulang lebih dulu.
“Jangan-jangan ….” Ranu menutup mulutnya dengan mata yang sedikit terbelalak. Dena yang mengerti apa yang ada di pikiran Ranu, juga mengeluarkan ekspresi yang sama.
Ranu dan Dena berlari menuju Rumah Cokelat. Mereka harus memastikan bahwa apa yang dipikirkan Ranu tidak benar.
“Sean harus baik-baik saja.” Ranu terus mengucapkan kalimat itu seakan-akan kalimat tersebut memiliki mantra ajaib yang membuat harapannya terkabul.
Mereka sudah sampai di depan Rumah Cokelat. Rumah itu terlihat sangat sepi. Tak ada orang satu pun. Pintunya tertutup rapat. Lampu-lampu yang semalam berkelap-kelip di terasnya kini sudah mati.
Dengan langkah pelan, Dena dan Ranu maju dan membuka pintu yang tak pernah dikunci itu—entah karena apa.
Bau amis tercium sangat keras seperti bau amis setelah penyembelihan hewan kurban pada saat hari raya. Mata mereka menangkap genangan darah yang terlihat menjijikkan menyelimuti lantai yang terbuat dari keramik. Beberapa baju juga terlihat berserakan di mana-mana. Di pojok kiri, di samping kursi kayu tua—tempat Sean duduk semalam—terlihat sebuah pakaian berwarna biru gelap tanpa lengan.
Baju yang dikenakan Sean tadi malam.
Deg!
Dena dan Ranu saling menatap. Sepertinya mereka memikirkan hal yang sama. Cukup lama mereka bertatap-tatapan sampai akhirnya Ranu memilih untuk bersuara.
“Kupikir semua itu hanya mitos.”
“Aku … juga berpikir begitu. Kau ingat, semalam Sean yang paling keras tertawa.”
“Ini pasti hanya mimpi. Bangunkan aku, Den. Ini pasti mimpi!” Ranu menepuk-nepuk pipinya. Sesekali ia mencubit lengannya dan setelahnya mengaduh.
Tangan dan kaki mereka mulai gemetar. Takut. Terkejut. Ini adalah kali pertama mereka melihat realisasi dari sebuah kalimat yang selama ini mereka anggap sebagai mitos: jangan tertawa keras pada pukul 23.59 di Rumah Cokelat jika tidak ingin tubuhmu hancur.
“Ki—kita pulang saja, Ran.”
Mereka berlari secepat yang mereka bisa. Raut takut masih tergambar jelas di wajah mereka yang sudah pucat. Tangan mereka masih gemetaran. Kaki pun demikian. Mereka masih tercengang dengan apa yang baru saja mereka saksikan.
***
Sepuluh hari sudah berlalu. Sejak saat itu, Ranu dan Dena tidak pernah kembali ke Rumah Cokelat. Sean masih tak kunjung datang. Mungkin benar tubuhnya sudah lenyap malam itu.
“Kamu masih ingat cerita Nenek Lamun waktu itu, Ran?”
“Masih. Dia bilang pukul 23.59 kita tidak boleh lagi berada di rumah itu. Apalagi tertawa keras. Katanya gelak tawa itu akan mengganggu para iblis yang datang dari pintu belakang. Pintu yang terhubung ke neraka. Nenek Lamun bilang iblis-iblis itu akan menghancurkan tubuh orang-orang yang masih berada di rumah itu. Begitu, ‘kan?
“Sungguh, selama ini aku mengira semua itu adalah dongeng pengantar tidur saja. Tidak masuk akal sama sekali. Tidak mungkin rumah itu benar-benar terhubung dengan neraka. Yang benar saja!”
“Tapi, kita melihat buktinya pagi itu. Sean bahkan juga tidak kembali sampai hari ini. Dan, kita menemukan bajunya hari itu. Aku yakin sekali baju itu adalah milik Sean.”
Mereka mengembuskan napas dengan kasar. Pikiran mereka menerawang menembus segala ruang yang mungkin saja memberikan mereka alasan bahwa semua ketidak-logisan ini bisa dibenarkan. Tapi, nihil. Mereka tak menemukan satu pun alasan yang dapat menguatkan bahwa hal itu bisa saja terjadi.
“Aku tidak peduli semua ini logis atau tidak. Tapi genangan darah, baju biru gelap milik Sean, dan keberadaan Sean yang entah di mana saat ini sudah membuktikan bahwa semua itu benar-benar terjadi. Aku tidak ingin memikirkan ini lagi. Aku … aku takut setiap kali memikirkannya.” Air luruh begitu saja di mata Dena. Sesekali tangannya menepis air itu dengan kasar.
“Aku akan membuktikannya sendiri malam ini.” Ranu berdiri. Ia berjalan meninggalkan Dena yang ternganga dengan mulut setengah terbuka.(*)
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa. Bisa dihubungi melalui Facebook : Vianda Alshafaq.
Editor : Tri Wahyu Utami