Pemelihara Babi dalam Batok Kepala
Oleh : Mafaaza
Lelaki berkulit hitam itu mengepulkan asap putih dari mulutnya. Asap itu menari, meliuk memenuhi ruangan kamar hotel. Tubuh bagian bawah dibiarkannya hanya tertutup kolor, sedangkan dadanya yang berbulu lebat hingga ke perutnya yang buncit, ia biarkan terbuka.
Mutiara, gadis seksi yang telah lama ia incar akhirnya sudi menemaninya semalam suntuk. Sekarang, gadis itu sedang membersihkan tubuh di dalam kamar mandi yang pintunya terbuat dari kaca buram tembus pandang. Tak lama lagi, ia akan keluar kamar dengan tas penuh terisi uang yang cukup untuk biaya hidupnya seminggu lagi—itu kalau gadis itu tak menghabiskannya untuk bersenang-senang dengan lelaki muda simpanannya.
“Jadi kapan aku bisa memakaimu lagi?” tanya Bram saat gadis pujaannya keluar dari balik kaca buram dengan tubuh berbalut handuk putih dari dada hingga di atas lutut.
Gadis itu mengangkat bahu, “Belum tahu.”
“Dengan bayaran sebanyak itu, seharusnya kau yang melontarkan pertanyaan itu padaku.”
“Ini bukan hanya tentang bayaran, Tuan. Tapi lebih kepada ‘siapa yang paling membutuhkan’.” Senyum licik tersungging di bibir merah Mutiara.
“Dasar sundal! Padahal aku bisa mendapatkan yang lebih darimu.”
“Tapi tetap akulah yang paling kamu inginkan.” Si gadis mengecup bibir hitam bau tembakau, membuat pemilik bibir itu kembali terbakar berahi.
“Maaf. Sudah cukup, Tuan.” Gadis itu mendorong pelan dada berbulu yang menempel di tubuhnya.
“Sekali lagi saja.”
Si gadis menggeleng. “Terlalu sering justru akan membuatnya hambar, tak seindah jika dibumbui kerinduan, Tuan.”
Bram mengempaskan tubuhnya ke kasur empuk yang terbungkus seprei kusut masai. “Kalau begitu, cepatlah keluar!”
Mutiara mengenakan pakaian yang semalam ia simpan di lemari, memasukkan baju dan pakaian dalamnya yang berserak di lantai ke dalam tas. Sebelum beranjak ke arah pintu, gadis itu kembali mengecup bibir Bram.
“Sialan kau!” umpat lelaki berperut buncit itu. Mutiara tertawa. Tawa puas karena telah berhasil menaklukkan hati Bram. Laki-laki rakus itu tak boleh terpuaskan rasa penasarannya, atau ia akan kehilangan tambang emas karena dianggap membosankan.
“Besok selepas tengah malam dia ada dalam kapal pompong di perairan Pulau Angsa. Ada ratusan boks rokok ilegal yang dibawanya.” Mutiara berkata lewat sambungan telepon setelah sampai di lobi hotel.
***
“Kau lihat si buncit itu?” Surya menunjuk seorang lelaki berkulit hitam yang sedang sibuk dengan telepon selulernya, di dalam mobil dengan kaca terbuka yang terparkir di halaman sebuah kafe.
Mutiara melihat ke arah jari telunjuk lelaki muda pujaannya.
“Buronan bea cukai. Kau bisa menjadikannya tambang emas.”
“Caranya?”
“Aku pikir kau gadis yang pintar.” Surya memandang gadis yang memujanya setengah mati itu dengan tatapan tajam dan senyum mengejek.
Mutiara, si gadis yang menjuluki dirinya sendiri dengan sebutan ‘Penakluk Buaya’ tentu saja muak ditatap seperti itu.
“Apa bayaran yang akan aku dapat jika bisa menjinakkan dia?”
“Uang. Tentu saja.”
“Hanya itu?” Mutiara meraih segelas soft drink di hadapannya, meneguk minuman manis bersoda itu hingga hampir habis setengahnya.
“Apa lagi? Menjadi anjing pelacakku yang setia?”
“Bajingan. Kau tahu aku tak pernah mau ikut campur dalam urusan pekerjaanmu.”
“Benarkah?” Surya menatap manik bola mata hitam gadis di depannya lekat-lekat. “Demi aku.”
Mutiara mengentakkan punggungnya pada sandaran kursi kafe yang empuk. Lelaki di hadapannya tahu persis ia tak pernah bisa berkutik ditatap tajam seperti itu. Tatapan mata Surya yang menghunjam disertai senyumannya yang memikat adalah kelemahan baginya. “Kau tahu aku tak pernah meminta bayaran darimu. Yang kulakukan selama ini justru sebaliknya, bukan?”
“Tapi aku bukan laki-laki yang tidak tahu terima kasih, yang menerima kesenangan darimu dengan gratis.”
“Kau membayarku dengan uang yang telah kuberikan kepadamu. Sama saja.”
“Jadi bagaimana, Sayang? Pangkatku akan merangkak naik jika berhasil mengenyahkan Si Rakus itu.”
“Akan kupikirkan nanti.”
“Dan kau pasti tahu aku tak bisa mendengar kata ‘tidak’ dari bibir manismu.” Surya meraih jemari Mutiara, mengecupnya dengan lembut. Gadis itu melayang, pipinya merona.
*
Mutiara telah duduk di dalam kafe seorang diri. Tak lama, Bram muncul bersama seorang laki-laki yang berperawakan lebih kurus. Sejak dari pintu masuk sampai duduk di kursi, keduanya terlihat berbincang cukup serius. Beruntung, dua lelaki itu memilih tempat tak jauh dari kursi yang diduduki Mutiara.
Sudah sebulan lebih gadis itu diam-diam mencari tahu tentang Bram. Banyak informasi yang telah masuk ke dalam kantongnya; lelaki buncit itu adalah bos besar bisnis jual beli rokok ilegal tanpa cukai. Informasi lain, ia kepala preman tukang palak para pedagang pasar, juga gemar menghabiskan malam dengan wanita-wanita penjaja diri, tapi bukan sembarang wanita, hanya wanita yang berhasil memikat hatinyalah yang akan ia tiduri. Demi memuaskan babi busuk dalam batok kepalanya yang sesungguhnya tak akan pernah kenyang.
“Ini bisnis besar,” ujar Bram.
“Dan risikonya tentu saja tak main-main.” Rekannya menimpali.
Bram tertawa. “Kau lihat ini.” Bram menunjuk betisnya yang terlihat sedikit berlubang, “Mereka tak akan berani berbuat lebih dari ini selama kita bisa menyumpal mulut busuknya dengan uang.”
“Tapi tetap saja aku tak mau jika harus berjalan pincang sepertimu setelah betisku dicium timah panas, kemudian menahan rasa sakit sambil meringkuk di lantai penjara yang sedingin es.” Pria kurus mengedikkan bahunya.
“Hei, pengecut. Di dunia ini tak ada pekerjaan yang tidak berisiko.” Bram menatap tajam ke arah lawan bicaranya. “Risiko yang besar untuk hasil yang besar. Impas, kan? Setelah itu, kau bisa menikmati apa pun yang kau inginkan. Rumah, kendaraan, uang, bahkan kehangatan dari gadis cantik seperti dia.” Bram melirik ke arah Mutiara.
‘Dasar dua babi rakus!’ umpat Mutiara dalam hati.
Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, ia sengaja mengenakan hot pants dan kaos ketat yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang seksi sempurna. Wangi sensual menguar dari tubuhnya, menusuk indra penciuman dua lelaki itu saat Mutiara melangkah pergi.
Bram dan rekannya saling pandang. Otak busuk dalam batok kepala keduanya memunculkan sinyal yang sama.
Dering gawai berbunyi dari atas meja yang ditinggalkan Mutiara. Bram menoleh ke arah sumber suara. Gadis itu seperti lupa membawa serta benda pipih itu. Awalnya lelaki buncit itu acuh, sampai kemudian otaknya memikirkan satu hal yang membuat bibirnya tersenyum. Bukankah dengan benda itu ia bisa terhubung dengan gadis cantik beraroma sensual yang duduk di dekatnya tadi?
“Pucuk dicinta, handphone pun ketinggalan.” Bram dan rekannya terbahak-bahak.
Benar saja, semua data diri Mutiara ada dalam akun Facebook miliknya dalam handphone itu. Akun dengan identitas fake tentu saja, kecuali nomor teleponnya.
Mangsa masuk perangkap. Malam harinya Bram menghubungi Mutiara, mengatakan bahwa ia telah menemukan handphone gadis itu dan mengajaknya untuk bertemu.
“Em, tapi sepertinya benda itu tak terlalu penting. Harganya juga murah. Buat kamu saja.” Gadis itu melancarkan aksi selanjutnya, sok jual mahal.
“Apa kamu lupa bahwa di sini ada fotomu dengan dada yang terbuka?”
Mutiara menutup mulut. Rencana selanjutnya berhasil. “Jangan macam-macam dengan foto itu!” Mutiara berbicara dengan nada yang dibuat panik.
“Kalau begitu temui aku di kafe tadi besok sore, Manis.”
“Ba-baiklah.”
Mutiara merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan perasaan puas. Rencananya berjalan lancar, tinggal menjalankan rencana selanjutnya yang ia yakin akan lebih mudah.
Keesokan harinya, dengan dandanan tak kalah seksi dari hari sebelumnya, Mutiara berjalan dengan anggun menuju tempat duduk Bram, lelaki itu telah datang lebih dulu.
“Hai, Senja.” Mata binal Bram seolah menjilati tubuh Mutiara yang terlihat setengah telanjang. Pria itu menyebut nama yang digunakan oleh Mutiara dalam akun fake miliknya.
“Boleh aku tahu namamu?”
“Senja. Ya, namaku Senja.”
“Senja yang memikat.” Mata Bram tak lepas dari lekukan tubuh gadis di hadapannya.
“Kapan kita bisa kencan?” Bram bertanya tanpa basa-basi.
“Maaf, saya ke sini untuk mengambil handphone, bukan untuk berkencan.”
“Tak usah jual mahal.”
“Mana handphone saya?” Mutiara menadahkan tangannya.
“Kau mau bayaran berapa?”
Mutiara membuang pandangannya. Gadis itu melipat tangan, bersikap seolah merajuk.
Bram mengeluarkan benda pipih milik Mutiara dari dalam saku kemejanya, menyerahkannya tepat di hadapan wajah gadis di depannya itu. Tangan Mutiara sigap meraih benda itu.
“Hubungi aku jika kamu ingin,” kata Bram percaya diri.
“Terima kasih sudah mengembalikan barang saya. Dan saya mohon dengan sangat, cukup Anda yang tahu foto pribadi saya dalam handphone ini.” Hati Mutiara tertawa geli saat mengucapkan kalimat itu.
Gadis seksi itu berdiri dari duduknya lalu meninggalkan Bram tanpa basa-basi.
Berbulan-bulan setelah pertemuan di kafe itu, hampir setiap hari Bram menelepon Mutiara, gadis itu tetap jual mahal dengan terus menolak ajakan Bram.
“Sudah waktunya kamu tahu lebih banyak tentang dia,” ucap Surya di atas tempat tidur, Mutiara memeluk tubuh polos kekasihnya yang tertutup selimut.
“Itu artinya aku harus menerima ajakan tidurnya?”
“Apa lagi?”
Mutiara memejam. Ia tahu, cinta hanya ada di hatinya, tidak di hati Surya. Pria itu hanya memanfaatkan cinta butanya. Wajar jika ia sedikit pun tak merasa cemburu jika ada tangan lelaki lain yang menyentuh tubuh gadis yang memeluknya saat ini. Mutiara menyadari betul bahwa dirinya teramat bodoh berada dalam kubangan cinta buta. Akan tetapi ia tetap membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh intel muda itu. Apa pun itu, asal Surya tetap bersedia menemani malam-malamnya yang sunyi.
“Demi aku.” Surya mengecup bibir Mutiara.
*
Kapal pompong bermuatan ratusan boks rokok ilegal yang ditutup terpal berwarna biru membelah perairan Pulau Angsa. Air kecokelatan khas tanah gambut menciprat di buritan kapal. Lima orang duduk di bawah tenda di atas kapal. Pekatnya malam membuat kelima orang itu tak menyadari jika gerak gerik mereka sedang dipantau.
Saat hampir tiba di dermaga, salah seorang melemparkan tali ke daratan, lalu turun dari atas pompong dan berenang menuju darat untuk mengikatkan tali itu pada kayu yang tertancap kokoh di dermaga. Saat itulah, suara letusan pistol terdengar, mengagetkan empat orang di atas kapal, juga satu orang yang hampir sampai di daratan.
“Kenapa ada mereka? Bukankah kamu bilang semuanya aman?” Bram mengumpat salah satu anak buahnya yang telah diberi mandat menyumpal mulut pihak berwajib. Yang diumpat hanya menunduk, tak berani menjawab. Sejatinya ia juga bingung, seharusnya perjalanan pengiriman rokok kali ini aman, sama seperti sebelumnya, pikirnya.
Bram melakukan perlawanan dengan melemparkan bom molotov ke arah salah seorang petugas. Lelaki buncit itu teramat panik hingga bertindak gegabah. Petugas itu berhasil mengelak, bom molotov mengenai udara hampa. Dengan cepat seorang petugas lain menekan pelatuk pistol, kali ini bukan menembak langit, tapi ujung pistol itu tepat mengarah ke dada kiri Bram. Darah merah segar muncrat ke penjuru kapal. Sebelum tubuhnya jatuh tersungkur, di bawah redup cahaya lampu dermaga, Bram sempat melotot melihat Mutiara duduk menyilangkan kaki di atas kursi sambil mengapit rokok dengan dua jarinya, menyunggingkan senyum sinis penuh kemenangan.(*)
Inhil, 19 Oktober 2021
Mafaaza, seorang perempuan penyuka hujan, bunga, biru, benang dan pena.
Editor: Inu Yana