Daun Pertama

Daun Pertama

Daun Pertama

Oleh : Tri Wahyu Utami

 

Daun itu jatuh mengenai kepala si tua bertopi lusuh. Tetapi ia terus saja menyapu halaman. Sesekali bersiul, menyanyikan lagu yang liriknya masih asing bagiku, lalu menyeka sebentar keringat di wajahnya yang kian mengeriput. Angin yang dingin kemudian berembus agak kencang dan menerbangkan lagi daun kering itu ke arahku. Ia berhenti di depan kakiku yang bersepatu putih, mengambang di kubangan air sisa hujan semalam.

Kakek Yu. Aku mengenalnya sejak pindah kemari di awal musim hujan. Ia adalah tetangga kami yang baik. Ibu bahkan sangat senang mengobrol dengannya sepulang bekerja, dan tentu saja, jika ia sedang tidak terburu-buru berganti baju kemudian pergi lagi sampai langit berubah gelap. Dibanding Ibu yang jarang sarapan bersamaku, Kakek Yu lebih hebat dalam memanggang roti isi selai kacang yang manis. Ia juga pintar memperbaiki perkakas yang rusak, sehingga sering dimintai tolong tetangga. Namun dari semua hal yang Kakek Yu lakukan, menjadi ayah trembesi besar adalah yang paling kusuka.

Pohon tua yang usianya melebihi usia Kakek Yu itu sering sekali menggugurkan daun-daun kering ke tanah. Saat angin kencang datang, biasanya daun-daun tersebut akan bergulung-gulung bersama debu panas yang memedihkan mata. Bagi pejalan kaki yang melintasi si pohon, keadaan seperti itu tentu sangat mengganggu. Aku yakin Kakek Yu juga tidak menyukainya. Tetapi ketimbang mengeluh atau menggerutu seperti orang-orang, Kakek Yu justru tak pernah marah-marah. Ia bahkan memperlakukan pohon trembesi seperti anak sendiri.

Pagi sekitar pukul 5.35, Kakek Yu akan mendatangi halaman tempat pohon itu berada. Sebelum mulai menyapu, biasanya ia akan mengelilingi batang pohon besar, memeriksa apakah di batang itu tertempel paku atau kertas brosur bergambar wajah seseorang calon pemimpin kota ini. Terkadang, ia juga akan menepuk-nepuk batang sambil memandangi dedaunan yang menari-nari disenggol angin. Lalu berucap riang, “Semakin kamu besar, udara di sini akan semakin segar, Nak. Jadi tumbuhlah dengan baik.”

Pertama kali mendengar ia berucap begitu, aku langsung mengira bahwa lelaki ini adalah tetangga kami yang harus segera dibawa ke rumah sakit jiwa. Mungkin saking kesepiannya hidup seorang diri, ia jadi gila. Iya tentu saja, orang normal sepertiku tidak akan mengobrol dengan pohon. Lagi pula, pohon itu kan tidak punya mulut, jadi mana bisa bicara? Aku pun tidak mau ketularan aneh. Jadi setiap kali bertemu Kakek Yu yang sedang menyapu, aku akan langsung menjauhinya. Seperti di Minggu pagi kemarin, ketika Ibu membaca koran di teras lalu mendengar teriakan Kakek Yu yang memanggil namaku. Alih-alih datang menghampirinya, aku malah membalikkan badan, hendak pulang.

“Kamu tidak dengar Kakek memanggilmu tadi? Ayo, bersikaplah yang sopan. Cepat pergi, lalu ajak Kakek ke sini. Ibu mau masuk dulu dan menyiapkan roti isi yang enak untuk kalian,” suruh Ibu.

“Tapi, Bu ….”

“Ayolah, Fi. Sepertinya ada yang ingin Kakek bicarakan denganmu,” Ibu menyela cepat sampai aku tak bisa mengelak lagi. Aku menghampiri Kakek Yu dengan malas. Aku juga menjawab singkat saja semua hal yang ia tanyakan padaku.

“Libur begini kenapa tidak main dengan mereka?”

Aku menoleh ke arah sekumpulan bocah yang sedang bersepeda. Lalu menggeleng pelan. “Rantai sepedaku lepas,” sahutku kemudian.

“Terus?”

“Sudah kuperbaiki, tapi lepas lagi.”

Kakek Yu tertawa keras. Setelah meletakkan sapu dan gunting taman yang barusan kami perbaiki bersama, ia menawarkan bantuan kepadaku.

“Siang nanti bawa sepedanya ke rumah Kakek. Biar Kakek betulkan rantainya.”

“Memangnya Kakek bisa membetulkannya?” tanyaku cepat. “Emm … sebenarnya tidak cuma rantai. Tapi setirnya juga bengkok sedikit.”

“Hm, kalau begitu jangan membuang waktu lagi. Setelah sarapan, pergilah ke rumah Kakek dan bawa sepedanya.”

Kakek Yu berdiri, lantas berjalan pulang sebelum aku berkata apa-apa. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih kepadanya karena memberiku sebungkus lolipop.

Sejak itu aku tak merasa aneh lagi dengan sikap Kakek Yu. Setiap hari selama dua minggu mengenalnya, dan setelah lima kali mengobrol bersama, aku langsung mengerti kalau ia benar-benar lelaki tua yang waras. Aku senang saja mengetahui bagaimana Kakek Yu berbahagia dengan begitu lepas: ia tak memedulikan sama sekali pandangan orang tentang semua hal gila yang ia lakukan.

Berbicara dengan pohon, bersandar lalu menepuk-nepuk batang seolah ia adalah bayi yang kau timang dengan sepenuh kasih sayang, sungguh tak mencerminkan sikap normal seseorang. Tetapi siapa sangka, lama-kelamaan aku malah menyukainya. Apalagi di hari ketiga Kakek Yu memperbaiki sepedaku yang rusak, ia mengizinkanku meminjam dua buku yang judulnya paling aku suka. Begitu juga dengan gambar-gambarnya yang sangat keren.

“Apa itu seekor naga?” tanyanya seraya melirik buku yang kupegang.

“Iya, ini naga terhebat di Hutan Kugaki,” sahutku cepat. “Aku baru sampai di bab dua. Tapi apa Kakek tahu? Naga ini benar-benar hebat. Saat bertarung melawan musuh, ia akan mengeluarkan api yang besar dan dahsyat ….”

Kakek Yu mendengarkan ceritaku sambil melumasi lagi rantai sepeda yang lepas. Lalu menyahut, “Bawa pulang saja bukunya, supaya kamu bisa membaca itu kapan pun kamu mau.”

“Kakek serius?”

“Ya!”

“Terima kasih.”

“Mintalah juga ke ibumu untuk membacakan buku itu. Kakek yakin kamu akan menyukainya.”

Kakek Yu tampak gembira mengatakannya. Ia pun tidak tahu kalau aku sedang menggerutu dalam hati. Bahwa aku juga tidak menyetujui rencananya itu. Bukan hanya percuma, tetapi meminta tolong kepada Ibu untuk mendongeng sebelum tidur, sama saja seperti meminta ia melompat ke dalam sumur yang dalam.

***

Siki termangu cukup lama begitu menyadari kalau dirinya tengah berada di hutan impian. Seperti yang ia bayangkan setiap kali menginginkan bertemu dengan Maori, si naga terhebat berapi emas, hutan itu benar-benar hijau dan luas. Di atas pepohonan yang tinggi menjulang, kumpulan burung bersayap hitam terbang ke utara. Ke arah datangnya Maori yang mendarat pelan ke sisi hutan paling lapang. Sebelum kaki naga itu menyentuh tanah, sayapnya yang lebar telah mematahkan ranting salah satu pohon yang langsung terjatuh keras. Bersamaan dengan itu, muncul embusan udara di sekitar naga yang membuat Siki merasa gugup, sehingga jatuh terpeleset di depan naga.

Tidak mau menghadapi bahaya yang lebih besar, Siki bermaksud kabur dari tempat itu. Tetapi pekikan Maori yang berulang-ulang, berhasil menghentikan Siki. Ia membalikkan badan, kemudian melihat Maori sedang berdiri menatapnya. Tatapan yang hangat dan bersahabat. Siki merasakan ketakutan dalam dirinya perlahan sirna. Ia pun berjalan mendekati naga. Ia sentuh kepala hewan itu dengan hati-hati, lalu mengusapnya lembut seolah ia seekor kucing yang jinak.

Sekali lagi Maori memekik sambil menggoyangkan ekornya. Siki berjingkat mundur. Ia khawatir naga itu marah. Tetapi ternyata tidak. Maori begitu karena senang. Sebab, selama bertahun-tahun menghuni Hutan Kugaki, baru kali ini ia bertemu dengan seorang manusia seperti Siki. Lelaki muda yang pemberani.

Aku berhenti membaca ketika menyadari kalau Kakek Yu sudah tertidur. Sudah dua hari ini ia tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Ia mengeluhkan sakit di dada, lalu sore hari ketika Ibu sudah berada di rumah, lelaki itu memintaku untuk datang ke rumahnya. Ia ingin sekali mendengar cerita Maori.

Aku tahu belakangan ini Kakek sulit tidur dengan nyenyak seperti cerita tetangga. Makanya aku memutuskan untuk menemani ia beristirahat, sambil mendongeng.

“Oh, syukurlah Kakek bisa tidur,” batinku lalu membetulkan selimut yang ia pakai. Setelah menaruh buku ke atas meja, aku bergegas ke dapur, hendak mencuci mangkuk dan gelas. Namun belum juga keluar kamar, Kakek Yu tiba-tiba terbatuk keras. Dadanya kembali sesak dan ia meringis kesakitan.

Seketika aku urung pergi, lalu kembali menghampirinya. “Kakek tidak apa-apa?”

Kakek Yu menggeleng. Tetapi sebelah tangannya mengayun-ayun meminta tisu. Aku mengambilkan beberapa lembar, dan langsung terdiam ketika tisu yang ia lempar ke keranjang sampah yang kupegang telah berubah warna. Bebercak merah darah.

“Kakek ….”

“Duduklah. Kakek sudah tidak apa-apa,” bisiknya, kemudian melarangku pergi ke mana-mana. Walaupun saat itu aku sangat cemas, tetapi senyum Kakek Yu membuatku agak tenang.

Aku tidak mau Kakek Yu mengalami batuk yang seperti itu lagi. Maka, supaya keluhan sakitnya juga mereda, ia harus tidur kembali.

“Kakek mau dengar ceritanya lagi?”

“Hm,” sahutnya dengan mata terpejam. Dongeng itu pun kulanjutkan lagi.

… “Hai, Maori! Perkenalkan, aku Siki.”

Siki mengulurkan tangannya. Kemudian memeluk Maori dengan pelan. Naga itu pun memejamkan matanya yang berair dan memancarkan sinar kehangatan.

Aku mengusap mata, setelah menatap lekat-lekat wajah Kakek Yu yang berkeringat dingin. Ia tampak lemah. Bahkan seperti daun-daun kering yang jatuh, terlihat ringkih karena tubuhnya yang kian mengurus.

***

Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi membaca. Buku cerita setebal 218 halaman itu pun tersimpan rapi di rak. Sebetulnya aku tak pernah lagi membaca dongeng Naga Berapi Emas dari Hutan Kugaki karena sudah hapal dengan ceritanya. Jadi, akan mudah saja untuk menceritakannya kepada Kakek Yu nanti, kalau aku telah bisa mengunjunginya. Oh, aku benar-benar tak sabar menunggu hari itu tiba.

Sejak dulu, Kakek Yu memang tak pernah meminta hadiah. Hanya saja, mendadak aku ingin sekali memberinya sesuatu yang bagus. Itulah sebabnya selama seminggu berjalan, aku rajin berlatih menggambar.

“Kakek pasti menyukainya!” batinku penuh semangat. “Eh, iya. Tapi kan ini naga berapi emas,” gumamku pelan, kemudian meneliti lagi gambar yang kubuat. Bentuk naganya memang sudah mirip dengan yang ada di buku, tetapi warna api yang keluar dari mulut hewan itu sedikit berbeda.

Pensil warnaku yang emas memang sudah habis. Jadi, aku hanya menggunakan warna merah bercampur kuning untuk memperindah bagian itu.

Setelah mengumpulkan semua kertas bergambar naga, aku baru menyadari kalau tersisa dua halaman saja yang belum kuwarnai. Semestinya tak sampai lima hari gambar ini sudah selesai. Lebih cepat memang lebih baik. Namun, aku tak mau asal-asalan mengerjakannya.

Sekarang pukul 5.30. Aku bersiap-bersiap keluar dan membawa semua kertas itu ke halaman depan rumah. Aku mau menyapu dulu. Setelah itu menikmati sarapan sambil membaca buku.

“Kamu mau keluar, ya?” sapa Ibu ketika kami bertemu di meja makan. “Ibu harus segera pergi. Jadi tidak sempat membuatkan nasi telur kesukaanmu. Tapi tenang saja, ini Ibu buatkan roti panggang cokelat yang hangat. Apelnya juga sudah Ibu kupaskan tadi. Ada di lemari pendingin, sisa puding yang kemarin kamu makan juga ada di situ.”

“Ibu tidak mau sarapan dulu?”

Wanita itu menggeleng cepat. “Tidak bisa, Sayang. Ibu sudah terlambat.”

Aku tak mengatakan apa pun lagi. Setelah menyambar sekotak makanan di atas meja, aku bergegas keluar. Menyusul Ibu yang bergegas masuk ke mobil. Sebelum berangkat, ia bertanya apakah aku mau dibawakan oleh-oleh. Aku menggeleng dan ia berkata, “Jangan lupa kunci pintunya kalau kamu mau keluar lama.”

“Ibu tidak lupa juga, kan? Besok jam delapan pagi, semua wali murid harus datang ke sekolah,” tanyaku, mengingatkan Ibu tentang acara kami.

“Emm … ya! Ibu … ah, begini saja. Kalau Ibu sudah pulang nanti, ingatkan lagi soal ini. Oke?”

Sebentar kemudian, ia sudah menghilang dari hadapanku. Lalu aku melihat di depan sana, seorang lelaki bertopi lusuh sedang duduk bersandar di bawah pohon trembesi. Sepertinya ia sedang menikmati embusan angin yang segar dan menyejukkan.

“Kakek?”

Untuk memastikan apakah benar seseorang itu adalah Kakek Yu, aku bergegas menutup pintu. Kemudian berlari cepat ke halaman. Tetapi sesampainya aku di sana, seseorang itu sudah tidak ada. Mungkin ia langsung pergi ketika aku sedang menutup pintu tadi. Maka sebelum bertambah siang dan panas, aku memutuskan untuk segera menyapu. Dalam beberapa menit saja, daun-daun kering yang jatuh mengotori halaman telah selesai kubersihkan.

Angin bersiul pelan. Memberi kesegaran yang sangat kusuka ketika berada di tempat ini. Sambil memandangi daun-daun yang kian rimbun, aku menyapa pohon itu dengan riang.

“Selamat pagi, Pohon Baik. Sekarang rambutmu semakin banyak, ya. Berkat kamu, udara di sini juga semakin segar.”

Kutepuk-tepuk batang trembesi besar seperti yang Kakek Yu lakukan. Setelahnya, aku duduk bersila di atas rumput dan menghabiskan roti panggang cokelat yang mulai dingin. Saat itu juga tiba-tiba ingatan tentang Kakek Yu muncul. Kemudian aku melihat lagi gambar-gambar yang ada di kertas.

Salah satunya adalah gambar Maori yang sedang bertarung dengan naga lain yang tubuhnya lebih besar dan panjang. Kecepatan terbang Maori pun tak seberapa dibanding naga itu, tetapi si naga terhebat tak pernah takut. Demi keselamatan Hutan Kugaki, Naga Berapi Emas terus melawan musuhnya. Dengan kekuatan yang ia miliki, ia berhasil mengalahkan si naga jahat. Begitu yang pernah kuceritakan kepada Kakek Yu. Kami berdua sangat menyukai cerita ini. Itulah mengapa ketika aku hendak mengembalikan bukunya, Kakek menolak. Ia memintaku agar menyimpan buku itu baik-baik. Kakek juga berpesan sesuatu.

“Kamu anak yang baik, Fiana. Teruslah seperti itu sampai kamu besar nanti. Jadilah pemberani seperti Siki dan Maori, ya?” nasihatnya kala itu.

“Oke!”

Kakek Yu tersenyum lebar.

“Aku juga akan merawat pohon Kakek dengan baik. Biar dia tumbuh besar, besar, daaannn … besar. Seperti raksasa.”

“Hahaha … anak pintar.”

Suara itu adalah suara Kakek Yu yang paling kuingat, sekaligus menyesakkan. Lima tahun silam, aku menggambar seekor naga untuk Kakek Yu. Yang lebih mirip cacing bertanduk.

“Kakek ….”

Saat ini juga, aku merasakan tubuhku menghangat sekejap. Kemudian berubah dingin.

“Aku sedih karena dulu Kakek belum melihat gambar ini. Padahal aku membuatnya semalaman,” gumamku seraya menggoreskan pensil warna ke atas kertas. “Tapi tidak apa-apa, aku tidak marah. Aku tahu Kakek sudah lelah, makanya Kakek tidur terus. Tapi, Kek. Kalau nanti semua gambarnya sudah selesai kuwarnai, Tuhan mau kan mengizinkan kita bertemu?”

Setelah itu, aku sudah tak bisa lagi berbicara. Aku hanya bisa membayangkan kalau di hari-hari selanjutnya, Kakek Yu akan datang ke mimpiku. Aku pun diam. Sampai sebuah daun yang kering jatuh menimpa tanah. Ini adalah daun pertama yang kuambil setelah berpisah jauh dengan Kakek Yu. Sebetulnya aku tak pernah menyimpan sampah kering yang berasal dari pohon trembesi kami. Tetapi kali ini, aku ingin sekali menyimpannya.

Sebuah ide pun muncul di kepala. Aku ambil banyak daun kering di sekitar dan akan kutempelkan ke gambar naga yang belum diwarnai. Sepertinya akan sangat bagus. Dengan begitu, daun-daun kering itu juga tidak terbuang sia-sia.

Daun-daun itu segera saja kuselipkan ke dalam kertas bergambar, agar suatu malam nanti ketika bercerita kepada Kakek Yu, aku bisa memberikan gambar naga daun itu kepadanya.(*)

 

Malang, 3 September 2021

 

 

Tri Wahyu Utami, penulis novel Mirania. Aktif di FB dengan nama Tri Wahyu Utami.

 

Gambar: https://pin.it/3kfw9GI

 

 

Leave a Reply