1999 dan 2019
Oleh: Imas Hanifah N
Terbaik Ke-16 TL-19
Di salah satu kamp pengungsian, Ambon, 1999.
“Ose seng sholat?” tanya seorang anak berumur sepuluh tahun kepada kawan yang baru saja ia kenal hari itu.
Kawannya menjawab dengan sedikit canggung, “Beta Kristen.”
***
Di sebuah bengkel ibukota, Bang Jo—begitulah ia sering disebut—sedang memperbaiki salah satu motor pelanggan. Sesekali ia melihat Abdul yang juga sedang sibuk, berkutat dengan perkakas bengkel dan motor lainnya.
Bang Jo melihat ke beberapa motor rusak yang masih tak tersentuh. Sebenarnya, kalau disebut bengkelnya itu ramai sekali, tidak juga. Tapi karena ada salah satu pegawainya yang baru keluar seminggu lalu, beberapa pekerjaan bengkel pun jadi terbengkalai.
“Dul, aku sudah hubungi Eko. Dia bilang, ada yang mau kerja di sini. Nanti siang atau sore baru ke sini.”
“Wah, bagus, Bang. Biar aku gak lembur terus,” ucap Abdul sambil sedikit tersenyum.
Bang Jo yang mendengarnya, cepat-cepat melempar kanebo yang ia gunakan sejak tadi dan itu tepat mengenai wajah Abdul. Mereka pun tertawa. Sekilas, Bang Jo melihat luka di lutut Abdul.
“Bekas lukamu itu keren, lho. Kayak orang sakti.”
“Keren apanya, Bang? Justru bekasnya bikin orang salah paham.”
“Disangka begal, ya? Haha.”
“Begitulah. Disangka mantan preman.”
“Tapi kamu hebat, Dul. Salut sama kamu.”
Abdul hanya tersenyum, lalu membenarkan celananya agar lukanya tak terlalu terlihat.
Hebat. Satu kata yang selalu keluar dari mulut Bang Jo ketika bicara soal luka yang berkaitan dengan masa lalu Abdul. Bang Jo memang seingintahu itu tentang banyak hal. Selalu begitu. Abdul tak masalah sebenarnya, bahkan sejak awal mereka kenal, Bang Jo sangat antusias ingin mendengar cerita tentang apa yang Abdul alami dua puluh tahun silam, saat ia masih berumur sepuluh tahunan dan menjadi salah satu dari sekian banyak tentara anak kala itu.
Jika Bang Jo begitu kagum dengan keberanian Abdul saat itu, berbeda dengan Abdul. Justru ia sama sekali tak merasa hebat. Jauh di dalam hatinya, ia menyesal, tapi waktu tidak bisa diputar kembali.
“Sebelum keburu siang, Abang mau pergi dulu ke tempatnya Marni. Anaknya sakit kemarin. Gak apa-apa, kan? Darurat ini. Kamu sendiri, kerjaan banyak. Jadi gak akan lama.”
“Iya, Bang. Santai saja. Gak ada pelanggan yang nunggu di sini juga, kan.”
“Oke-oke.”
Bang Jo beringsut. Ia baru teringat tentang anaknya Marni, alias keponakannya yang sakit kemarin. Ia lupa belum memberi Marni uang untuk berobat.
Abdul pun sibuk. Baginya, memang lebih leluasa kalau Bang Jo, bosnya itu pergi. Entah kenapa, tapi kalau Bang Jo tidak ada, biasanya ia akan lebih bersemangat mengerjakan semuanya.
Dua jam kemudian, Abdul sudah menyelesaikan dua motor. Ia pun beranjak, hendak mengambil air minum. Di saat itulah matanya menangkap sosok asing yang terlihat berjalan ke arahnya.
“Ini bengkel motor Bang Jo?” tanyanya dengan senyum canggung.
Abdul mengangguk. “Benar. Ada yang bisa dibantu?”
“Ehm, saya Roni. Temannya Pak Eko.”
Abdul langsung ingat. “Ah, yang mau kerja di sini? Saya Abdul. Karyawan bengkel di sini.”
Abdul mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Roni.
“Tunggu sebentar, ya. Bang Jo sedang keluar. Duduk saja dulu, sambil kita ngobrol-ngobrol. Mau ngopi?”
Roni menggeleng. “Tidak usah, Bang.”
“Eh, jangan begitu. Biar saya pesankan.”
“Tidak usah, Bang.”
“Ya, sudah. Kalau tidak mau,” ucap Abdul dengan nada sedikit naik. Niatnya hanya bercanda, agar suasana tidak terlalu aneh.
“Eh, bukan begitu, Bang. Saya tidak mau merepotkan,” jawab Roni. Rupanya ia sedikit panik dengan cara Abdul menjawab.
“Lah, tidak repot, kok. Sebentar, ya.”
“Ya sudah, Bang. Terima kasih.”
Roni terdiam. Ia melihat Abdul pergi ke seberang, ke salah satu warung. Tak lama, satu menit pun tak sampai. Setelahnya, Abdul kembali ke bengkel.
“Nanti kopinya dibawa ke sini sama penjaga warung,” ucap Abdul. Roni hanya mengangguk.
Hampir masuk waktu Zuhur, Abdul membersihkan tangannya dari sisa-sisa oli. Kemudian, ia duduk di samping Roni. Sambil menunggu azan Zuhur, baiknya ia sedikit berbasa-basi, pikirnya.
“Sudah lama kerja di bengkel? Atau baru mau nyoba?” tanya Abdul.
“Pernah sekali, Bang. Tapi gak lama. Bengkelnya keburu bangkrut, hehe.”
Setelah itu, hanya hening. Sepertinya, baik Abdul atau Roni adalah dua orang yang mirip-mirip. Kadang kalau bertemu orang baru, selalu ada kecanggungan dan perasaan takut salah bicara.
Untungnya, Bang Jo datang di waktu yang tepat. Ditambah, penjaga warung pun sudah datang dengan kopi pesanan Abdul. Dengan wajah semringah, Bang Jo segera menghampiri Roni dan Abdul.
“Wah, Roni, ya?”
Roni mengangguk lalu menyalami Bang Jo.
“Sudah lama?”
“Baru, Bang.”
“Sudah lihat, kan? Di sini banyak motor yang belum dikerjakan. Kamu kalau mau langsung kerja juga boleh, toh. Kan di telepon sudah kujelaskan semuanya.”
“Iya, Bang. Makasih, Bang. Saya mau kok langsung kerja.”
“Bagus. Oh iya, Dul. Tahu, gak? Roni juga dari Ambon. Iya, kan?” tanya Bang Jo.
“Wah, betul?” tanya Abdul antusias.
Roni mengangguk. “Betul, Bang. Saya dari Ambon.”
“Walah, ternyata satu kampung halaman, ya.”
“Iya, Bang.”
Suasana semakin cair dengan adanya kehadiran Bang Jo dan kenyataan soal Roni yang juga sama-sama dari Ambon. Bahkan setelahnya, Roni dan Abdul sama-sama saling berbicara dengan Bahasa Ambon. Tentu saja Bang Jo protes dan menyuruh keduanya berbahasa Indonesia saja.
“Jadi, kalau kamu sama dengan Abdul, sama-sama dari Ambon, berarti kamu juga tahu kan, konflik tahun 99?” tanya Bang Jo.
Abdul sudah menduga pertanyaan itu pasti terlontar dari mulut bosnya.
Roni hanya tersenyum. “Saya lupa, Bang.”
“Lupa, ya. Oke-oke. Tak masalah kalau gitu. Hanya penasaran saja.”
Roni mulai bekerja, sementara Abdul bersiap hendak ke masjid. Azan Zuhur sudah berkumandang. Ia pun izin kepada Bang Jo untuk ke masjid duluan, sementara itu, Bang Jo dan Roni di bengkel. Memang seperti itu, mereka bergantian kalau mau istirahat.
Setelah Abdul, giliran Bang Jo yang pergi ke mesjid. Roni masih bekerja dan Abdul pun mulai berkutat dengan perkakas bengkel lagi.
Setelah beberapa saat, Abdul merasa tak enak. Apalagi Roni masih baru, jadilah Abdul merasa sebaiknya Roni melaksanakan salat dulu, menyusul Bang Jo.
“Kamu sholat dulu saja. Bareng sama Bang Jo.”
Roni tersenyum. Sedikit ragu, ia menjawab, “Saya Kristen, Bang.”
“Ah, maaf-maaf.” Abdul segera merasa tak nyaman.
“Gak apa-apa, Bang. Santai saja.”
Setelah percakapan itu, entah kenapa terasa ada yang mengganjal di hati Abdul. Percakapan itu seperti memunculkan ingatan masa lalu yang menurutnya akan lebih baik kalau ia melupakannya saja, tapi tak mungkin bisa. Mungkin tak akan pernah bisa.(*)
Tasikmalaya, 2022
Imas Hanifah N., lahir di Tasikmalaya, 1996. Penyuka jus alpukat dan jajanan SD. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Komentar juri, Berry Budiman:
Kadang, kita membutuhkan cerita-cerita sederhana supaya bisa melihat sudut pandang yang lain. Tokoh-tokoh yang dekat dengan adegan yang sehari-hari bisa kita temukan. Kita tidak tahu, bisa jadi seseorang yang kita kenal pun mempunyai masa lalu yang tragis, atau hidup dalam trauma yang ingin dikubur dalam-dalam. Dengan cara yang enteng—tidak harus di tengah medan perang atau di depan moncong senjata—cerita ini tetap bisa mengajak kita menukik ke sebuah masa yang kelam. Masa yang tidak mungkin bisa dilupakan oleh mereka yang pernah terlibat di dalamnya, tak peduli di pihak mana mereka saat itu.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata