Jaka Kelana (Bab 4)

Jaka Kelana (Bab 4)

Jaka Kelana (Bab 4)

Oleh : Cici Ramadhani

 

Sejenak kucoba mengabaikan mimpi yang sejatinya hanyalah bunga tidur. Ada hal yang lebih penting dari itu ketika Bang Rama melakukan panggilan. Bang Rama mengatakan saat ini sedang dibuka pendaftaran calon bintara Polri dan memintaku untuk mencobanya.

“Coba lagi, mana tau kali ini beruntung,” ucapnya dari seberang. 

Aku tak langsung mengiyakan maupun menolak permintaan Bang Rama. Menjadi polisi memang cita-citaku sejak kecil, namun setelah pernah mencobanya sekali dan gagal, kupikir pekerjaan itu hanya untuk mereka yang punya duit. UUD, Ujung-ujungnya Duit. Tanpa itu, kemungkinan berhasil itu rasanya setipis kulit bawang. 

Akan tetapi, mengingat Mamak, hatiku rasanya diremas-remas. Mengingat peluh yang selalu membasahi wajahnya ketika lelah bekerja atau air mata yang selalu membasahi pipinya yang aku tak pernah tahu penyebabnya. Ya, Mamak tidak pernah membagi deritanya pada anak-anaknya. Tiap kali kutanya, beliau akan selalu menjawab dengan jawaban yang sama seperti sebelum-sebelumnya, “Enggak ada apa-apa, kok.” 

Sendiri, Mamak berjuang agar kami bisa terus sekolah. Bukan karena beliau seorang janda, namun karena bapakku lebih memilih wanita lain sebagai istrinya daripada Mamak. Sebagian jatah yang Bapak beri tidak bisa mencukupi kebutuhan empat orang—Mamak, Bang Rama, aku dan adikku Alfi—sehingga Mamak terpaksa mencuci pakaian 17 bintara magang. Pakaian mereka dicuci dengan mesin, kemudian Mamak akan membilasnya dengan tangan, lalu mengeringkannya dengan mesin sebelum dijemur. 

Aku dan Bang Rama memiliki tugas masing-masing. Aku yang masih mengenakan seragam putih biru saat itu bertugas memasak nasi, membuat sarapan mie instan, dan membersihkan rumah. Sedangkan Bang Rama bertugas membantu Mamak menyetrika pakaian para bintara muda itu kemudian mengantarnya ke barak dan mengambil pakaian kotor mereka untuk dicuci. Terkadang aku menemaninya mengantar dan mengambil pakaian. Langgangan Mamak pun bertambah setiap tahun ketika Bintara Magang yang baru datang. Dari awalnya 17 orang, kemudian menjadi 30 orang. 

Seperti itulah rutinitas harian yang kami bertiga lalui sampai ketika suatu keajaiban terjadi. Entah ini disebut keajaiban atau keberuntungan, Bang Rama lulus tes bintara Polri. Banyak orang memuji Mamak. Beberapa orang mengatakan bahwa kami mungkin putus sekolah ketika Mamak ditinggal Bapak namun ternyata Mamak mampu berjuang hingga anaknya bisa memakai seragam polisi, seragam yang bertahun-tahun selalu beliau cuci demi memenuhi kebutuhan hidup. Tatapan hina mulai berkurang. Mamak pun sudah tidak sesering dulu menangis. Sampai saat ini Mamak juga masih terima cucian. Hanya tidak sebanyak dulu, paling sekitar tujuh orang, itu pun teman-teman dekat Bang Rama. 

Mengingat itu semua, aku pun menimbang-nimbang tawaran Bang Rama. Aku mengingat-ingat berapa banyak uang yang sudah kuhabiskan untuk kuliah setahun setengah ini, mulai dari uang kuliah, uang sewa kamar, uang makan, uang saku, belum lagi membeli alat-alat olahraga seperti raket tenis, raket badminton, bola takraw, dan sepatu bola. Ah, jika dihitung-hitung, aku seketika merasa tak tega pada Mamak, mengingat masih ada adik yang perlu biaya sekolah.

Saat ini Alfi baru duduk di bangku SMP, perjuangannya masih panjang. Bagaimana nanti kalau Bang Rama berkeluarga? Tentu bantuan biaya darinya hanya sekadarnya saja, karena istri dan anaknya kelak yang lebih utama dinafkahi.

“Ya udah, Jaka mau,” jawabku kemudian. 

Berkali-kali kuhirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya, berharap semua beban  segera sirna. Aku ingin segera membalas jasa Mamak, memberikan beliau kebahagiaan tanpa harus berpeluh lagi mencari uang.

****

Keesokan paginya aku menemui Kak Sinta, meminjam sepeda motornya untuk kupakai mengurus banyak hal. Kak Sinta tak pernah keberatan saat motornya kami pakai. Dia rela bekerja naik angkot demi adik-adiknya.  

“Kamu berantam, Dek?” tanyanya heran melihat wajahku. Luka gores di wajahku kini bergelembung. 

“Mana pernah Jaka berantam, Kak. Ini luka dapatnya kemarin. Jaka mau pindah aja dari kosan itu. Ada hantunya. Masa Jaka malamnya mimpi berantam entah sama siapa, bergulat gitu. Eh, paginya wajah Jaka kaya dicakar. Pagi ini melepuh pula.”

“Jadi kamu mau daftar dengan wajah gitu, Dek? Apa boleh?” tanya Kak Sinta khawatir.

Aku hanya mengangkat bahu. Bingung harus menjawab apa. Bagiku tes yang kedua kali ini adalah mengadu peruntungan. Syukur-syukur bisa lolos seperti Bang Rama, doaku.

“Kak, cariin indekos yang baru ya,” pintaku lagi.

“Ya sudah, nanti coba Kakak tanya-tanya. Sekarang kamu cepat antar Kakak ya. Takut angkotnya penuh semua, Kakak bisa telat.”

Setelah mengantarkan Kak Sinta ke jalan raya, aku menuju loket bus. Bang Rama mengirimkan berkas-berkas untukku mendaftar ke Polda. SKCK hanya tinggal diperpanjang. Segala surat ijin dan surat sehat sudah diurus Bang Rama. Tidak susah baginya mengurus semua dalam sehari. Hanya berbekal seragamnya, semua urusannya lancar. Orang-orang akan segan untuk menunda-nunda keperluannya. Bahkan Bapak yang sempat tidak ingin menandatangani surat persetujuan orang tua saat diminta Mamak, akhirnya menyerah setelah Bang Rama menghubunginya. Semua cerita itu kudengar dari Mamak tadi malam saat menghubungiku. Awalnya Mamak memberi kabar bahwa berkasnya sudah dikirim dan bisa diambil keesokan paginya. Saat kutanya kenapa bisa cepat kali siapnya, di situlah Mamak menceritakan semuanya. 

Sepuluh jam perjalanan ditempuh dari kampung ke Medan. Semua perjalanan bus dilakukan di malam hari. Pengiriman barang atau surat pun bisa dengan bus, aman dan jauh lebih cepat dibanding pengiriman dengan ekspedisi. 

Setelah mengambil berkas dari loket bus, aku berkendara menuju Polda. Matahari mulai menunjukkan sinarnya setelah beberapa hari ini awan hitam selalu bergelayut manja di atas sana. 

Bukannya langsung mendaftar, aku malah ke masjid. Mencoba menenangkan hati dan pikiran. Memohon kemudahan pada Sang Pencipta. 

“Jangan lupa selalu shalat dan berdoa, ya, Nak,” ucap Mamak tadi malam. “Hanya Allah yang bisa membantu kita. Semoga segala urusanmu diberi kemudahan.”

Setelah shalat Dhuha empat rakaat, aku segera menuju panitia pendaftaran. 

“Eh, wajah kamu kenapa?” tanya seorang polisi ketika aku menyerahkan semua berkas. (*)

Bersambung ….

 

Sebelumnya (Bab 3)

Selanjutnya (Bab 5)

 

Cici Ramadhani, ibu dua anak yang suka berpetualang dan penyuka warna biru.

Editor: Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply